Dunia kembali dibayangi pengetatan kebijakan moneter (tapering off/TO) bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve. Penerapan kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas pasar keuangan, termasuk Indonesia. Salah satu yang berdampak adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Hal ini dapat dilihat dari peristiwa yang terjadi pada 2013. Dinata dan Oktora (2020) dalam “Pengaruh Quantitative Easing dan Tapering Off serta Indikator Makroekonomi terhadap Nilai Tukar Rupiah” menjelaskan, kondisi perekonomian Indonesia berubah pasca The Fed resmi mengumumkan kebijakan TO pada Desember 2013. Efek langsungnya adalah berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolad AS sejak defisit neraca transaksi modal dan finansial.
Nilai tukar rupiah sempat mengalami tren yang menguat hingga 29 dan 30 Oktober 2021 di level Rp 9.605/$. Kemudian tren ini berhenti. Rupiah semakin melemah.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mewaspadai terulangnya kembali kejadian tersebut sejak Februari 2021. Oleh karenanya, dampak yang ditimbulkan diyakini tidak akan sebesar 2013.
(Baca: BI Tutup Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Rp. 14,464 per US$ (Jumat, 20/Ags))
Nilai tukar rupiah menunjukkan tren menguat sejak 21 Juli 2021 hingga 5 Agustus 2021 menurut data Bank Indonesia. Kemudian, rupiah kembali menunjukkan tren melemah. Pada hari ini, rupiah melemah ke level Rp 14.464/US$. Ibrahim Assuaibi Direktur PT. TRFX Garuda Berjangka menjelaskan melemahnya nilai tukar rupiah dari faktor eksternal karena adanya kebijakan The Fed yang menurunkan stimulus pada tahun ini. Selain itu, pasar merespon negatif adanya defisit Neraca Perdagangan Indonesia.