Menurut data National Aeronautics and Space Administration (NASA), konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer terus meningkat dalam beberapa dekade belakangan.
Selama periode 1959-1986 konsentrasi CO2 di atmosfer rata-rata masih di bawah 350 parts per million (ppm). Artinya, hanya ada kurang dari 350 partikel CO2 dalam setiap satu juta partikel udara.
Namun, sejak 1987 levelnya naik hingga melampaui 350 ppm. Bahkan pada periode April-Juni 2022 konsentrasi CO2 di atmosfer mencapai kisaran 420 ppm, rekor paling tinggi yang pernah tercatat NASA.
Adapun pada Januari 2023 konsentrasinya berada di level 419 ppm, rekor tertinggi ke-4 sejak awal pencatatan NASA.
CO2 adalah salah satu jenis gas yang memiliki efek rumah kaca, yakni dapat menangkap dan menahan panas matahari. CO2 bisa berasal dari proses alam, seperti letusan gunung api atau kebakaran hutan alami.
Namun, peningkatan kadar CO2 di atmosfer saat ini lebih banyak berasal dari aktivitas manusia, terutama dari pembakaran energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas bumi, serta pembakaran hutan atau deforestasi dengan sengaja.
"Karbon dioksida di atmosfer menghangatkan suhu planet dan menyebabkan perubahan iklim. Aktivitas manusia telah meningkatkan kandungan karbon dioksida di atmosfer hingga 50% dalam waktu kurang dari 200 tahun," kata NASA di situs resminya, dikutip Kamis (16/2/2023).
Seiring dengan kadar CO2 yang terus bertambah, suhu permukaan bumi juga mengalami tren peningkatan.
Selama periode 1981-2014 setiap tahun suhu permukaan bumi naik di kisaran 0,1 °C sampai 0,7 °C dibanding suhu rata-rata tahunan periode 1951-1980. Namun, sejak 2015 sampai sekarang kenaikan suhunya selalu melebihi 0,8 °C.
"Banyak ilmuwan berpikir kita perlu menurunkan tingkat karbon dioksida di atmosfer menjadi 350 ppm atau lebih rendah," kata NASA.
(Baca: Suhu Permukaan Bumi Naik 0,89 Derajat Celcius pada 2022)