Dalam beberapa tahun terakhir, tren kesedihan di kalangan pekerja meningkat secara global.
Hal ini terlihat dari laporan State of the Global Workplace 2025 yang dirilis Gallup, perusahaan riset dan konsultan internasional.
(Baca: PNS dan Karyawan BUMN, Pekerjaan dengan Depresi Terendah)
Setiap tahun Gallup menggelar survei terkait aspek-aspek kesejahteraan pekerja di sekitar 160 negara.
Respondennya berjumlah sekitar 1.000 orang per negara per tahun, dengan kriteria penduduk sipil, berusia 15 tahun ke atas, serta berstatus karyawan atau sedang bekerja pada orang lain.
Gallup menemukan pada 2014 hanya ada 15% responden pekerja global yang sering merasa sedih.
Namun, proporsinya kemudian terus bertambah hingga mencapai puncak pada 2020. Saat pandemi Covid-19 awal merebak, proporsi pekerja global yang sedih mencapai 25%.
Setelah itu proporsinya sempat turun dua tahun berturut-turut. Tapi, mulai 2023 angkanya konsisten naik lagi.
Sampai 2024 proporsi pekerja global yang sedih pun mencapai 23%. Ini merupakan level tertinggi sejak pandemi berlalu, sekaligus lebih tinggi dibanding masa pra-pandemi seperti terlihat pada grafik.
(Baca: 87% Penderita Depresi di Indonesia Tidak Berobat)
Naiknya tren kesedihan ini beriringan dengan turunnya evaluasi kehidupan responden.
Proporsi responden pekerja global yang memandang hidupnya secara positif atau merasa berkembang kian berkurang dari 35% pada 2022, menjadi 34% pada 2023, dan turun ke 33% pada 2024.
"Setelah lima tahun mengalami peningkatan yang stabil, evaluasi kehidupan pekerja global turun pada tahun 2023 dan kembali turun pada tahun 2024," kata tim Gallup dalam artikel Global Engagement Falls for the Second Time Since 2009 (23/4/2025).
"Banyak faktor yang memengaruhi perasaan orang tentang kehidupan, termasuk kepuasan dengan pendapatan dan biaya hidup. Banyak karyawan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk bekerja, dan pengalaman kerja itu memengaruhi evaluasi kehidupan mereka," lanjutnya.
(Baca: 94% Pekerja Komuter di Jabodetabek Tak Bisa WFH)