International Energy Agency (IEA) memperkirakan emisi gas metana dari sektor energi global mencapai 133,3 juta ton pada 2022.
Emisi tersebut meningkat dibanding 2021, sekaligus menjadi rekor tertinggi kedua dalam sekitar dua dekade terakhir.
Seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4) adalah gas yang memiliki efek rumah kaca, yakni bisa menangkap dan menahan panas matahari di atmosfer. Dengan begitu gas ini ikut berkontribusi terhadap pemanasan global.
"Metana bertanggung jawab atas sekitar 30% kenaikan suhu global sejak Revolusi Industri," kata IEA dalam laporan Global Methane Tracker 2023.
"Meski metana memiliki umur di atmosfer yang lebih pendek dibanding karbon dioksida, metana menyerap lebih banyak energi panas," lanjutnya.
(Baca: Kadar CO2 di Atmosfer Naik, Capai Rekor Tertinggi pada 2022)
Pada 2022 emisi metana sektor energi global berasal dari proses produksi dan distribusi minyak bumi (34%), batu bara (31%), dan gas bumi (28%). Ada pula metana dari hasil pembakaran bioenergi yang tidak sempurna, tapi porsinya kecil (7%).
Adapun angka yang tercatat di atas baru sebagian kecil dari total emisi metana global.
"Emisi metana dari sumur-sumur migas dan tambang batu bara yang sudah ditinggalkan tidak tercatat di sini. Datanya tidak tersedia di sebagian besar negara," kata IEA.
Angka-angka di atas juga belum termasuk emisi metana dari aktivitas pertanian, peternakan, pembusukan sampah, serta metana alami yang dihasilkan gambut atau lahan basah (wetland).
Menurut IEA, metana alami menyumbang sekitar 40% dari total emisi, sementara metana antropogenik dari aktivitas manusia (energi, pertanian, peternakan, sampah) menyumbang 60%.
Jika dihitung secara keseluruhan, IEA memperkirakan emisi metana global mencapai 580 juta ton pada 2022.
"Pengurangan emisi metana dengan cepat dan berkelanjutan adalah kunci untuk membatasi pemanasan global jangka pendek dan memperbaiki kualitas udara," kata IEA.
(Baca: Suhu Permukaan Bumi Naik 0,89 Derajat Celcius pada 2022)