Sektor industri masih menjadi penopang terbesar perekonomian Indonesia. Namun, kontribusinya terus menunjukkan tren turun dalam 1 dekade terakhir seperti terlihat pada grafik.
Kondisi ini mengindikasikan adanya gejala deindustrialisasi, yakni penurunan kontribusi sektor industri bagi perekonomian nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) sektor industri atas dasar harga berlaku (ADHB) senilai Rp877,8 triliun pada kuartal II 2022.
Dengan demikian, kontribusi sektor industri terhadap perekonomian nasional sebesar 17,84% dari total PDB yang senilai Rp2,82 kuadriliun. Kontribusi ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya.
Kontribusi sektor industri terhadap perekonomian nasional masih mencapai 21,57% pada kuartal pertama 2013, namun kini hanya sebesar 17,84%. Artinya kontribusi sektor industri menyusut 3,73 poin persentase dalam 10 tahun terakhir.
Hal serupa terjadi pada industri pengolahan nonmigas. Dalam 10 tahun terakhir tren kontribusi industri pengolahan nonmigas juga turun 2,07 poin persentase menjadi 16,01% pada kuartal II 2022 dibanding posisi kuartal I 2013.
Sektor industri juga belum mampu menjadi penggerak perekonomian domestik. Hal ini terlihat dari pertumbuhan sektor industri yang masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada kuartal II 2022 perekonomian nasional tumbuh 5,44% (year on year/yoy), sementara sektor industri hanya tumbuh 4,01% (yoy).
Guna meningkatkan nilai tambah ekspor Indonesia, Presiden Joko Widodo telah mengambil kebijakan menghentikan keran ekspor sejumlah komoditas dalam bentuk mentah, salah satunya nikel. Kini beberapa jenis komoditas harus diolah di dalam negeri, dan hanya boleh diekspor dalam bentuk setengah jadi atau barang jadi.
Selain untuk meningkatkan nilai tambah, pengolahan komoditas di dalam negeri juga diharapkan mampu meningkatkan sektor industri nasional serta menambah serapan tenaga kerja.
(Baca: Tumbuh 3,67%, Industri Non-Migas Belum Mampu Gerakkan Ekonomi Domestik)