Berdasarkan Global Food Security Index (GFSI), pada 2022 indeks ketahanan pangan global berada di level 62,2 dari skala 100.
Angka tersebut lebih rendah dibanding sebelum pandemi, di mana indeks ketahanan pangan global sempat mencapai 62,6 pada 2019.
"Tahun ini indeks turun terutama karena dipengaruhi dua indikator, yaitu keterjangkauan harga dan kualitas pangan yang memburuk," kata tim penyusun GFSI dalam laporannya.
"Keterjangkauan harga merupakan kunci dari ketahanan pangan. Jika makanan bergizi harganya mahal, ini akan mengancam kesejahteraan banyak orang," lanjutnya.
(Baca: Ketahanan Pangan Indonesia Menguat pada 2022)
Menurut GFSI, melemahnya ketahanan pangan global pada 2022 dipengaruhi dampak pandemi yang berkepanjangan, cuaca ekstrem, serta perang Rusia-Ukraina yang memicu kenaikan harga komoditas di skala global.
Di tengah situasi ini, negara yang dinilai memiliki ketahanan pangan terbaik sedunia adalah Finlandia dengan skor 83,7 dari skala 100.
Indeks kuat juga dimiliki Irlandia, Norwegia, Prancis, Belanda, Jepang, Kanada, Swedia, Inggris, dan Portugal dengan rincian seperti terlihat pada grafik.
GFSI mengukur indeks ketahanan pangan berdasarkan empat indikator, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).
Hasil penilaian seluruh indikator tersebut dinyatakan dalam skor berskala 0-100. Semakin tinggi skornya, kondisi ketahanan pangan dinilai semakin baik.
Finlandia dinilai memiliki ketahanan pangan terbaik karena harga makanan di negaranya terjangkau bagi hampir seluruh penduduk. Ini tercermin dari skor affordability-nya yang mencapai 91,9 atau mendekati sempurna.
Finlandia juga mendapat skor tinggi 82,6 di indikator sustainability and adaptation. Hal ini menunjukkan mereka punya kebijakan cukup kuat dalam hal pemeliharaan lingkungan serta manajemen risiko bencana alam dan perubahan iklim.
Sayangnya, menurut GFSI kebijakan serupa belum dimiliki oleh banyak negara lain.
"Pemerintah di banyak negara tidak siap menghadapi cuaca ekstrem, seperti gelombang panas yang melanda Eropa dan Amerika Utara, dan banjir yang menghancurkan Pakistan. Secara global, teknik manajemen air dan sistem irigasi yang ada saat ini belum cukup kuat untuk menghadapi perubahan iklim," kata tim GFSI dalam laporannya.
"Di tengah langkanya sumber daya alam, investasi untuk pertanian berkelanjutan juga menurun dan manajemen pengelolaan lahan masih lemah," lanjutnya.
"Semua pemangku kepentingan perlu bekerja sama membangun sistem pangan yang kuat, yang dapat bertahan di tengah naiknya permintaan pangan, keterbatasan lahan, dan iklim yang memanas," pungkas mereka.
(Baca: Ketahanan Pangan Indonesia Tergolong Cukup Kuat di ASEAN)