Polemik penulisan ulang buku sejarah Indonesia dimulai ketika Kementerian Kebudayaan di bawah Fadli Zon menginisiasikan proyek tersebut yang ditargetkan rampung pada peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 RI.
Melansir Katadata, proyek itu melibatkan lebih dari 100 sejarawan dan akan memuat hingga 10 jilid dari sejarah awal Nusantara sampai era Reformasi. Dalam kerangka konsep penulisan sejarah Indonesia sepanjang 30 halaman yang beredar, Kementerian Kebudayaan menyebut bahwa buku sejarah yang tengah disiapkan ini akan didapuk menjadi sejarah “resmi”.
Inisiasi itu mendapat penolakan keras dari sejumlah pihak. Satu di antaranya dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) yang terdiri atas sejarawan, aktivis HAM, tokoh masyarakat, dan akademisi. AKSI menyebut penulisan “sejarah resmi” tidak lazim dilakukan di negara demokrasi.
Hal ini karena berpotensi menghilangkan fakta-fakta pelanggaran HAM masa lalu. “Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orde Baru di mana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” kata Ketua AKSI Marzuki Darusman, setelah rapat dengar pendapat umum dengan Komisi X DPR RI, Senin, 19 Mei 2025.
Berkenaan dengan polemik tersebut, Litbang Kompas menyurvei tingkat kesetujuan dan persepsi masyarakat.
Hasilnya, sebanyak 55,4% responden setuju dengan wacana penulisan ulang sejarah nasional. Sementara, 42,9% lainnya menjawab tidak setuju.
"Terbelahnya posisi responden ini dilatarbelakangi kekhawatiran sejarah baru yang ditulis akan menghapus sebagian sejarah nasional," tulis Peneliti Litbang Kompas dalam laporannya, Senin (11/8/2025).
Dari kelompok yang setuju dengan penulisan ulang sejarah, sebanyak 55,5% di antaranya beralasan perlu adanya cerita sejarah negara yang lebih membangkitkan rasa nasionalisme.
Lalu 28,6% responden merasa cerita sejarah nasional saat ini belum akurat dan 10,6% berpendapat ada banyak kejadian sensitif dalam sejarah Indonesia yang tidak perlu diceritakan.
Walaupun ada kesetujuan, Litbang Kompas juga menemukan adanya kekhawatiran terhadap langkah tersebut. Tercatat, mayoritas atau 86,4% responden mengaku khawatir jika rencana penulisan ulang sejarah dapat menghapus sebagian sejarah yang sudah terbentuk.
"Bagi publik, penulisan ulang sejarah nasional seharusnya memberi ruang cerita bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk perjuangan mahasiswa dan bahkan pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah," tulis Peneliti Litbang Kompas.
Survei ini melibatkan 512 responden dari 64 kota di 38 provinsi yang dipilih secara acak, sesuai proporsi penduduk di setiap provinsi.
Pengambilan data dilakukan pada 14-17 Juli 2025 melalui wawancara telepon. Toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar 4,25% dan tingkat kepercayaan 95%, dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
(Baca: Jumlah Korban Perkosaan Kerusuhan Mei 1998 Lebih dari 50 Orang)