Kapasitas pembangkit listrik energi baru-terbarukan (EBT) di emerging market and developing economies (EMDEs) atau negara berkembang tumbuh pesat dalam sedekade terakhir.
Berdasarkan data BloombergNEF, pada 2015, total kapasitas terpasang pembangkit EBT di negara-negara berkembang secara global baru 0,6 terawatt (TW).
Setelah itu kapasitasnya terus bertambah hingga mencapai 1,2 TW pada 2024.
Secara kumulatif, kapasitas terpasang pembangkit EBT di negara berkembang sudah tumbuh sekitar 100% selama periode 2015-2024.
Pertumbuhan EBT ini lebih pesat dibanding energi fosil, yang kapasitas terpasangnya hanya naik sekitar 31% dalam periode serupa.
(Baca: Investasi Energi Terbarukan di Negara Berkembang Meningkat sampai 2024)
"Sedekade terakhir merupakan kisah sukses bagi negara berkembang. Investasi energi terbarukan mereka meningkat hampir tiga kali lipat, kapasitas terpasang pembangkit listrik rendah karbon naik dua kali lipat, dan hampir semuanya memiliki target iklim," kata BloombergNEF dalam laporan Climatescope 2025.
Meski begitu, total kapasitas pembangkit energi fosil di negara berkembang masih lebih besar dibanding EBT, yakni mencapai 1,7 TW pada 2024, seperti terlihat pada grafik.
"Energi fosil masih menyumbang sekitar 58% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik di negara-negara berkembang, dan produksinya terus meningkat secara absolut," kata BloombergNEF.
BloombergNEF juga menemukan, pertumbuhan kapasitas pembangkit di negara-negara berkembang tidak merata.
Ada beberapa negara berkembang yang pembangkit energi fosilnya masih tumbuh signifikan, salah satunya Indonesia.
"Indonesia sendiri mewakili hampir sepertiga dari total instalasi pembangkit energi fosil baru di negara berkembang, dengan kapasitas tambahan sebesar 8,9 gigawatt (GW) pada 2024," kata BloombergNEF.
"Sebagian besarnya berasal dari proyek batu bara dan gas, untuk memenuhi naiknya permintaan di sektor pertambangan dan logam di negara tersebut," lanjutnya.
(Baca: Pembangkit Listrik, Sumber Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar Global 2024)