Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), permintaan hidrogen di Indonesia diproyeksikan mengalami peningkatan selama 2025 hingga 2060.
Proyeksi tersebut dengan penghitungan yang mencakup seluruh permintaan dari berbagai sektor, termasuk industri, transportasi, pembangkit listrik, dan jaringan gas, serta seluruh metode produksi hidrogen: elektrolisis, biogas, dan gasifikasi.
Menurut Kementerian ESDM, pada 2025, permintaan hidrogen diproyeksikan mencapai 39.460 ton.
Lalu pada 2040, permintaan diproyeksikan naik signifikan menjadi 1,92 juta ton. Kementerian ESDM mengatakan, lonjakan ini karena peningkatan kebutuhan hidrogen untuk memproduksi amonia sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga amonia.
Lonjakan permintaan juga terjadi antara 2050 dan 2055, dipicu oleh operasional pembangkit listrik tenaga hidrogen dengan kapasitas 4 gigawatt (GW) pada 2051 yang menggunakan bahan bakar 100% hidrogen, lalu meningkat menjadi 24,0 GW pada 2055, dan 25,3 GW pada 2060.
Namun, Kementerian ESDM memproyeksikan adanya kesenjangan produksi dan permintaan hidrogen. Pasalnya, sejak 2025 sampai 2060, diproyeksikan selalu terjadi surplus hidrogen di Tanah Air, sebagaimana tabel di atas.
“Kesenjangan antara produksi dan permintaan hidrogen dimulai dari 160,1 ribu ton pada tahun 2025 dan diproyeksikan mencapai 5,7 juta ton pada tahun 2060,” kata Kementerian ESDM dalam laporan Peta Jalan Hidrogen dan Amonia Nasional.
Menurut Kementerian ESDM, kondisi tersebut menyoroti perlunya upaya untuk meningkatkan pemanfaatan hidrogen di berbagai sektor dalam negeri.
Akan tetapi, kesenjangan tersebut juga membuka peluang strategis Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pasar global, dengan target utama seperti Jepang, Korea Selatan, China, Singapura, dan negara-negara di Eropa.
“Hal ini menunjukkan potensi besar bagi Indonesia untuk berkontribusi dalam pasar hidrogen global sambil terus mendorong pemanfaatan domestik yang lebih luas,” ucap Kementerian ESDM.
(Baca: China, Konsumen Hidrogen Terbesar di Dunia pada 2024)