Menurut laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project, Indonesia menempati peringkat kedua negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia dari sektor alih fungsi lahan.
Selama periode 2013-2022, secara rata-rata Indonesia menghasilkan emisi karbon dari penggunaan alih fungsi lahan sebanyak 930 juta ton CO2 per tahun. Jumlah itu berkontribusi sebesar 19,9% dari total karbon yang dihasilkan dunia yaitu 4,67 miliar ton CO2 per tahun.
Sementara, posisi teratas ditempati oleh Brasil yang menghasilkan 1,08 miliar ton CO2 per tahun. Negeri Samba berkontribusi terhadap 23,1% produksi karbon dunia dari sektor alih fungsi lahan.
Di bawah Indonesia ada Republik Demokratik Kongo yang menghasilkan 570 juta ton CO2 per tahun dari sektor alih fungsi lahan atau menyumbang 12,2% dari total karbon dunia.
Ketiga negara teratas tersebut menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia selama periode 2013-2022. Global Carbon Project mencatat, puncak emisi karbon di Indonesia terjadi pada 1997 akibat kebakaran gambut.
Laporan tersebut juga menunjukkan, jumlah emisi karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3% pada 2022. Menurut Global Carbon Project, peningkatan karbon tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan negara-negara lainnya.
Selain alih fungsi lahan, kenaikan emisi karbon di Indonesia disumbang oleh deforestasi yang tinggi dan penggunaan energi fosil, khususnya batu bara.
Tercatat, emisi CO2 global dari bahan bakar fosil pada 2023 berasal dari batu bara (41%), minyak bumi (32%), gas (21%), semen (4%), pencahayaan kilang dan lainnya. Proyeksi data tahun 2023 tersebut didasarkan pada data awal dan pemodelan.
Laporan Global Carbon Budget disusun oleh lebih dari 120 ilmuwan internasional dan telah ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Para ilmuwan mengatakan, tindakan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil tidak berjalan dengan cepat dan cukup untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya.
Menurut laporan tersebut, tanpa upaya untuk mengurangi emisi, ada 50% kemungkinan bahwa kenaikan suhu 1,5ºC di atas pra-industrialisasi akan ditembus dalam jangka waktu tujuh tahun, beberapa tahun lebih cepat dari proyeksi pada Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).
Profesor Pierre Friedlingstein dari Global Systems Institute, Universitas Exeter, yang memimpin penelitian ini, mengatakan bahwa dampak perubahan iklim sudah jelas terlihat di sekeliling kita. "Namun, tindakan untuk mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil masih berjalan sangat lambat," kata Pierre dilansir dari siaran pers, dilansir Selasa (5/12/2023).
Professor Corinne Le Quéré, Profesor Riset Royal Society di Sekolah Ilmu Lingkungan Uni Emirat Arab mengatakan, emisi global pada tingkat saat ini dengan cepat meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Hal ini, ia menurut dia, menyebabkan perubahan iklim tambahan serta dampak yang semakin serius dan meningkat.
“Semua negara perlu melakukan dekarbonisasi ekonomi mereka dengan lebih cepat dari yang sedang dilakukan saat ini untuk menghindari dampak-dampak terburuk dari perubahan iklim,” kata Corinne.
(Baca: Indonesia Masuk Daftar Negara Penghasil Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar Dunia 2022)