Rendahnya kesadaran sebagian masyarakat terhadap kesehatan dan pendidikan membuat konsumsi rokok tetap tinggi di Indonesia. Meskipun harga rokok terus melambung seiring naiknya cukai hasil tembakau (CHT), ternyata tidak menyurutkan animo masyarakat untuk menikmati aroma asap dari racikan tembakau.
Tingginya konsumsi rokok masyarakat tercermin dari rata-rata pengeluaran kelompok makanan untuk rokok yang berada di urutan kedua tertinggi (lihat grafik).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran per kapita kelompok makanan masyarakat sebesar Rp665,76 ribu sebulan.
Dari nilai tersebut pengeluaran masyarakat untuk rokok mencapai Rp82,18 ribu per kapita sebulan. Nilai tersebut porsinya mencapai 12,34% dari total pengeluaran per kapita/bulan.
Pengeluaran masyarakat untuk membeli linting tembakau tersebut terbesar kedua setelah konsumsi makanan dan minuman jadi yang mencapai Rp207,65 ribu per kapita sebulan.
(baca: Pengeluaran Per Kapita Penduduk di Provinsi Ini Paling Tinggi se-Indonesia)
Dengan demikian, pengeluaran konsumsi masyarakat untuk mengonsumsi rokok lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran kelompok komoditas seperti padi-padian (Rp71,44 ribu per kapita sebulan) atau pengeluaran untuk konsumsi ikan/udang/cumi/kerang (Rp 56,33 ribu per kapita sebulan).
Berikut ini besaran rata-rata pengeluaran masyarakat untuk rokok dan porsinya dari total pengeluaran kelompok makanan di daerah perkotaan dan perdesaan pada Maret 2022:
- Perkotaan: Rp78.867/kapita/bulan (10,94%)
- Perdesaan: Rp86.659/kapita/bulan (14,66%)
- Perkotaan dan Perdesaan: Rp 82.183/kapita/bulan (12,34%)
Sebagai informasi, pemerintah memutuskan menaikkan tarif CHT untuk rokok sebesar 10% pada 2023 dan 2024.
Rata-rata kenaikan CHT sebesar 10%, dengan perincian sigaret kretek mesin (SKM) I, II rata-rata naik 11,5-11,75%. Untuk sigaret putih mesin (SPM) I, II naik 11-12%. Adapun untuk sigaret kretek tangan (SKT) I, II, dan III naik 5%. Kenaikan CHT tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2023.
Meskipun pemerintah menaikkan CHT rokok hampir setiap tahun belum mampu menurunkan prevalensi perokok anak secara signifikan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ditargetkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun turun menjadi 8,7%.
(Baca: 10 Wilayah RI dengan Pengeluaran Rokok Tertinggi pada 2021)