PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami kerugian lebih dari Rp 13 triliun pada semester I-2021. Hal tersebut terjadi akibat merosotnya pendapatan Garuda imbas diberlakukannya pembatasan kegiatan masyarakat saat pandemi virus corona Covid-19.
Perusahaan penerbangan milik negara itu tercatat mengalami kerugian senilai US$ 898,66 juta atau setara Rp 13,03 triliun (kurs Rp 14.496/US$) pada enam bulan pertama tahun ini. Kerugian ini meningkat 26,29% dibandingkan pada semester I-2020, sekaligus menjadi yang terdalam.
Besarnya kerugian yang dialami Garuda dipicu oleh merosotnya pendapatan sebesar 24,04% menjadi US$ 696,8 juta pada paruh pertama 2021. Sementara, beban operasional hanya turun 16% menjadi US$ 1,38 miliar. Beban keuangan pun meningkat 44,77% menjadi US$ 293,53 juta.
Kerugian yang dialami BUMN berkode GIAA di Bursa Efek Indonesia (BEI) tersebut membuat asetnya merosot 6,26% menjadi 10,11 miliar pada semester I-2021. Sementara, kewajibannya meningkat 1,8% menjadi US$ 12,96 miliar.
Imbasnya, ekuitas perseroan menjadi negatif US$ 2,85 miliar pada Januari-Juni 2021, lebih dalam 46,59% dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Ekuitas negatif ini mengindikasikan bahwa aset yang dimiliki perusahaan sudah tidak cukup untuk membayar utang yang lebih tinggi.
Buruknya kinerja keuangan Garuda membuat BEI melakukan suspensi sahamnya sejak 17 Juni 2021. Harga saham GIAA saat itu berada di posisi Rp 220, menyusut 44,78% dari posisi akhir 2020 (year to date/ytd).
Adapun, mayoritas atau 60,54% saham Garuda dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Lalu, 28,26% saham dimiliki oleh PT Trans Airways, 0,0002% oleh komisaris dan direksi, serta 11,2% oleh masyarakat.
(Baca: Penumpang Garuda Indonesia Turun 16,28% pada Mei 2021)