Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase rumah tangga yang memiliki akses hunian layak dan terjangkau nasional pada 2020 naik 3,03%. Tahun 2019, persentase akses hunian layak dan terjangkau 56,51% meningkat menjadi 59,54% pada 2020.
Sementara itu, persentase akses hunian layak dan terjangkau di perkotaan ternyata memiliki persentase yang lebih tinggi daripada di perdesaan, yaitu 63,24% sedangkan perdesaan 54,82%. Pada 2020, Yogyakarta tercatat sebagai provinsi yang memiliki persentase tertinggi terhadap akses hunian layak dan terjangkau di tanah air yakni 86,19%. Disusul oleh Provinsi Bali dengan persentase 77,05%. Sementara itu, persentase terendah dimiliki oleh Papua yakni hanya 28,56% dan Kepulauan Bangka Belitung berada di posisi selanjutnya dengan 30,64%.
Sejak tahun 2019, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjelaskan hunian layak huni harus memenuhi 4 kriteria yaitu kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2 m² per kapita, memiliki akses terhadap air minum layak, memiliki akses terhadap sanitasi layak, dan ketahanan bangunan.
(Baca Selengkapnya: 445 RW di DKI Jakarta Masuk Kategori Kumuh)
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Diahhadi Setyonaluri, mengatakan rumah layak huni juga seharusnya memiliki luas yang cukup untuk memenuhi standar kesehatan. Contohnya seperti memiliki ventilasi yang baik, kamar mandi yang bersih, kamar tidur yang cukup untuk bergerak, serta lokasi yang dekat dengan fasilitas pendukung.
Data Kementerian PUPR menyebutkan, hingga Februari 2020 masih terdapat 2,5 juta rumah tangga Indonesia yang tinggal di rumah tidak layak huni. Artinya, isu rumah tidak layak huni harus menjadi prioritas yang perlu diperbaiki oleh pemerintah.