"Uang pengganti" merupakan suatu bentuk hukuman pidana tambahan dalam perkara korupsi.
Pidana tambahan ini merupakan salah satu cara untuk memulihkan kerugian negara, di mana terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan korupsi diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya dalam wujud uang.
Namun, menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), besaran pidana uang pengganti terdakwa korupsi di Indonesia terpaut jauh dengan nilai kerugian negara.
ICW mencatat total kerugian keuangan negara akibat korupsi yang dituntut KPK dan Kejaksaan pada 2021 mencapai Rp62,1 triliun.
Namun, jumlah pidana uang pengganti di tahun tersebut hanya Rp1,4 triliun atau sekitar 2,2% dari total kerugian negara.
“Ini menandakan, baik penuntut umum maupun majelis hakim, tidak memiliki perspektif pemberian efek jera (korupsi) dari aspek ekonomi,” tulis ICW dalam laporannya yang dirilis Minggu (22/5/2022).
Menurut ICW, ketimpangan besar antara kerugian negara dan uang pengganti ini juga terjadi karena kerap ada perdebatan antara penuntut umum dan majelis hakim, khususnya terkait perbuatan korupsi mana yang masuk ranah kerugian keuangan negara.
"Contoh konkretnya dalam perkara korupsi suap dan gratifikasi mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Hakim menolak mengganjar pidana tambahan uang pengganti atas alasan pemberian suap berasal dari dana pribadi," tulis ICW dalam laporannya.
"Argumentasi hakim yang menolak pengenaan pidana tambahan uang pengganti sebagaimana disebutkan di atas mudah untuk dibantah. Sebab, telah jelas tertuang dalam Pasal 17 UU Tipikor bahwa setiap delik korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan uang pengganti," pungkas ICW.
(Baca: ICW: Kerugian Negara akibat Korupsi Rp62,9 Triliun pada 2021)