Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-November 2022 Indonesia mengekspor reptil ke puluhan negara dengan berat total 171,2 ton dan nilai ekspor USD 2,61 juta.
Selama periode tersebut Amerika Serikat (AS) menjadi pembeli reptil terbesar dari Indonesia, dengan nilai transaksi mencapai USD 1,12 juta.
Indonesia juga banyak mengirim reptil ke Jepang, Singapura, Korea Selatan, Ceko, Taiwan, Jerman, Hong Kong, Prancis, dan Uni Emirat Arab dengan nilai ekspor seperti terlihat pada grafik.
Adapun menurut Ani Mardiastuti, peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Indonesia sudah menjadi pengekspor reptil sejak lama, baik reptil hidup maupun dalam bentuk kulitnya saja.
Kulit reptil umumnya digunakan sebagai bahan aksesoris fashion seperti sepatu, ikat pinggang, tas, dan lain-lain, sedangkan reptil hidup diekspor untuk diambil dagingnya atau dijadikan hewan peliharaan.
Menurut Ani, beberapa jenis reptil hidup yang banyak diekspor dari Indonesia adalah ular sendok (Naja sputatrix), ular sanca (Python reticulatus), ular sanca darah (Python curtus), dan biawak air (Varanus salvator).
Di habitat alaminya, beberapa jenis reptil bisa berbahaya bagi manusia dan ternak. Dengan begitu, penangkapan reptil untuk ekspor menjadi bagian dari pemberantasan hama.
Namun, perdagangan reptil tetap memerlukan pengawasan yang memadai agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi ekosistem.
"Beberapa laporan menyebutkan bahwa populasi beberapa jenis ular, biawak, dan buaya telah mulai menurun, terutama akibat dari kerusakan habitat dan tingginya angka pemanenan," kata Ani dalam laporan risetnya yang bertajuk Perdagangan Reptil Indonesia di Pasar Internasional (2003).
"Pelestarian habitat jenis reptil yang penting perlu mendapat perhatian. Perdagangan jenis reptil yang mulai langka perlu juga dihentikan agar kelestariannya senantiasa terjaga," lanjutnya.
(Baca: Kerupuk dan Peyek Indonesia Laris di Korea Selatan)