Pengeluaran untuk perawatan kulit di Kabupaten Kendal menunjukkan tren positif pada tahun 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengeluaran mencapai Rp61.445 per kapita per bulan. Angka ini mengalami pertumbuhan sebesar 17,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan ini menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten Kendal semakin peduli terhadap perawatan kulit. Perkembangan pengeluaran ini cukup menggembirakan. Meski sempat mengalami penurunan pada tahun 2019 dan 2022, secara keseluruhan terjadi kenaikan signifikan dari Rp42.531 pada 2018 menjadi Rp61.445 pada 2024.
(Baca: Rata-Rata Pengeluaran Perkapita Sebulan di Sulawesi Tengah 2015 - 2024)
Jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk aneka barang dan jasa sebesar Rp207.627, pengeluaran untuk perawatan kulit masih relatif kecil. Namun, dengan angka Rp61.445, menunjukkan bahwa sekitar 29,6 persen dari total pengeluaran untuk kecantikan dialokasikan khusus untuk perawatan kulit. Angka ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk makanan jadi atau rokok dan tembakau.
Pada tahun 2024, Kabupaten Kendal berada di peringkat 10 untuk pengeluaran perawatan kulit di antara kabupaten/kota se-Jawa Tengah dan peringkat 199 secara nasional. Posisi ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya perawatan kulit di Kabupaten Kendal cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Di Jawa Tengah, Kota Semarang menduduki peringkat pertama dengan pengeluaran Rp95.594.
Dibandingkan dengan beberapa kabupaten/kota lain di Jawa Tengah, pertumbuhan pengeluaran perawatan kulit di Kabupaten Kendal cukup baik. Misalnya, Kota Semarang mencatatkan pengeluaran Rp95.594 dengan pertumbuhan 28,8 persen. Kota Magelang Rp95.520 dengan pertumbuhan 9,4 persen. Kota Surakarta Rp88.833 dengan pertumbuhan 29,4 persen. Kabupaten Kendal sendiri, dengan pengeluaran Rp61.445, mencatatkan pertumbuhan 17,6 persen.
(Baca: Pengeluaran Perkapita Sebulan untuk Kecantikan Kab. Kota Baru | 2024)
Kota Semarang
Berdasarkan data BPS, Kota Semarang menduduki peringkat pertama dalam rata-rata pengeluaran per kapita sebulan bukan makanan. Dengan nilai Rp1.322.997 pada tahun 2024. Terjadi pertumbuhan sebesar 12,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp1.175.466,33. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kota Semarang memiliki daya beli yang kuat untuk memenuhi kebutuhan selain makanan. Serta adanya peningkatan signifikan dalam alokasi dana untuk berbagai jenis barang dan jasa. Peringkat kota ini tetap kokoh di posisi pertama di antara kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Tengah.
Kota Salatiga
Kota Salatiga menduduki posisi kedua dengan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan bukan makanan sebesar Rp1.315.195 pada tahun 2024. Meskipun menduduki peringkat tinggi, kota ini mengalami kontraksi atau penurunan sebesar 14,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp1.536.477,07. Penurunan ini merupakan anomali jika dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa Tengah. Serta perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhinya. Meski demikian, Kota Salatiga masih menjadi salah satu wilayah dengan tingkat konsumsi bukan makanan tertinggi di provinsi ini.
Kota Magelang
Kota Magelang mencatatkan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan bukan makanan sebesar Rp980.996 pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 1,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp963.451,1. Pertumbuhan yang stabil ini menempatkan Kota Magelang di peringkat ketiga. Di antara kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam hal pengeluaran bukan makanan. Hal ini menandakan adanya peningkatan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi masyarakat Kota Magelang untuk memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan pokok.
Kota Surakarta
Kota Surakarta menunjukkan angka rata-rata pengeluaran per kapita sebulan bukan makanan sebesar Rp942.391 pada tahun 2024. Terjadi penurunan tipis sebesar 3,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp978.669,55. Meskipun demikian, Kota Surakarta tetap mempertahankan posisinya di peringkat keempat di antara kabupaten/kota se-Provinsi Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sedikit penurunan, tingkat konsumsi bukan makanan di Kota Surakarta masih relatif tinggi dan stabil.