Masalah utang luar luar negeri selalu menjadi bahan perdebatan publik serta komoditas politik, terutama menjelang pemilihan umum (Pemilu) seperti saat ini. Bagi sebagian kalangan, utang luar negeri yang semakin menggunung bisa menjadi bom waktu dan bisa meledak kapan saja. Namun, dari sisi pemerintah utang tersebut masih di anggap aman jika dilihat dari indikator rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan penggunaannya juga untuk sektor produktif. Meskipun utang luar negeri cenderung meningkat, terutama utang pemerintah, PDB Indonesia juta terus naik. Sementara utang swasta juga relatif terkendali karena harus memiliki underlying dan hedging (lindung nilai).
Berdasarkan data Bank Indonesia utang luar negeri Indonesia pada akhir 2018 mencapai US$ 357,98 miliar atau setara Rp 5.333,85 triliun dengan kurs Rp 14.900/dolar Amerika Serikat. Menurut jatuh temponya, utang luar negeri pemerintah dan bank sentral dalam jangka pendek (kurang dari 1 tahun) mencapai Rp 149,27 triliun dan utang swasta mencapai Rp 690,29 triliun. Jumlah utang luar negeri Indonesia yang akan jatuh tempo dalam satu tahun ke depan mencapai Rp 839,56 triliun atau sekitar 15,74% dari total utang. Sedangkan utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo dalam jangka panjang mencapai Rp 2,545,1 triliun dan utang swasta sebesar Rp 1.949,29 triliun.
Total utang luar negeri Indonesia (pemerintah, bank sentral dan swasta) sampai akhir Juli 2018 mencapai 34,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut lebih rendah dari posisi akhir tahun lalu yang mencapai 34,75% dari PDB. Rasio utang luar negeri Indonesia pernah mencapai level tertingginya dalam sembilan tahun terakhir pada 2016, yakni sebesar 36,09% terhadap PDB. Cadangan devisa BI pada akhir Agustus 2018 sebesar US$ 117,97 miliar yang berarti masih mampu untuk membiayai 6,6 bulan impor ditambah utang pemerintah yang jatuh tempo. Jumlah tersebut di atas standar internasional sebesar 3 bulan impor.