Bank Indonesia (BI) tetap menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 6,25% pada Juni 2024. Keputusan itu ditetapkan dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI pada 19-20 Juni 2024.
Selaras dengan itu, suku bunga deposit facility sebesar 5,5% dan suku bunga lending facility sebesar 7%. BI menyebut, keputusan ini konsisten dengan kebijakan moneter pro-stabilitas sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025.
"Kebijakan ini didukung dengan penguatan operasi moneter untuk memperkuat efektivitas stabilisasi nilai tukar rupiah dan masuknya aliran modal asing," tulis BI dalam siaran persnya, Kamis (20/6/2024).
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-pertumbuhan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. BI menjelaskan, kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.
"Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran," kata BI.
Satu sisi, BI menyebut ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi di tengah prospek perekonomian dunia yang lebih kuat. Pertumbuhan ekonomi global pada 2024 diprakirakan mencapai 3,2%, lebih tinggi dari prakiraan awal, terutama dengan lebih baiknya pertumbuhan India dan China.
Ekonomi Amerika Serikat (AS) tumbuh kuat ditopang oleh perbaikan permintaan domestik dan peningkatan ekspor dengan penurunan inflasi AS yang masih berjalan lambat. Kondisi ini mendorong fed fund rate (FFR) diprakirakan baru akan turun pada akhir 2024.
Sementara itu, European Central Bank (ECB) telah menurunkan suku bunga kebijakan moneternya lebih cepat sejalan dengan tekanan inflasi yang lebih rendah.
"Divergensi kebijakan moneter negara maju ini serta masih tingginya ketegangan geopolitik menyebabkan ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi," kata BI.
Selain faktor itu, tingginya yield US treasury menyebabkan menguatnya nilai tukar dolar AS sehingga meningkatkan tekanan pelemahan nilai tukar berbagai mata uang dunia dan menahan aliran masuk modal asing ke negara berkembang.
Menurut BI, ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi ini memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
(Baca juga: Inflasi AS Persisten 3%, The Fed Tahan Suku Bunga Lagi)