Pemerintah Rusia memerintahkan media massa di negaranya untuk menghapus laporan-laporan yang menggambarkan operasi militer Rusia di Ukraina sebagai "serangan", "invasi", atau "deklarasi perang" pada Sabtu (26/2).
Menurut lansiran TheMoscowTimes.com (26/2), pemerintah Rusia menuduh sejumlah media setempat menyampaikan "informasi tidak benar" tentang tentara Rusia yang melakukan penembakan di kota-kota Ukraina hingga mengakibatkan kematian warga sipil. Mereka juga mengklaim bahwa "informasi tepercaya" hanya dapat ditemukan di saluran informasi resmi pemerintah Rusia.
Media-media yang menyebarkan "informasi tidak benar" kemudian diancam hukuman denda hingga lima juta rubel atau sekitar Rp685 juta.
Kebebasan Pers Rusia Terus Memburuk
Kondisi kebebasan pers di Rusia sudah menunjukkan tren yang semakin memburuk dalam beberapa tahun belakangan.
Mengutip data Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), selama periode 2014-2021 kasus penahanan jurnalis di Rusia terus meningkat setiap tahunnya.
Pada 2014, hanya ada 1 jurnalis yang ditangkap. Namun, kasus penangkapan bertambah menjadi 2 jurnalis pada 2015, menjadi 3 jurnalis pada 2016, dan menjadi 5 jurnalis pada 2017 dan 2018.
Penangkapan terus meningkat menjadi 7 jurnalis pada 2019, 10 jurnalis pada 2020, dan 14 jurnalis pada 2021.
CPJ belum mencatat ada penangkapan jurnalis pada 2022. Namun, sampai Selasa (1/3) CPJ mencatat ada 7 jurnalis Rusia yang dilaporkan hilang.
Sejak Rusia mengumumkan invasinya terhadap Ukraina pada Kamis lalu (24/2), beberapa jurnalis berbahasa Inggris memutuskan mengundurkan diri dari media Rusia. Salah satunya adalah jurnalis televisi Shadia Edwards-Dashti yang mengundurkan diri dari Russia Today (RT).
(Baca Juga: Dibayangi Sanksi karena Perang, Ini 5 Bank Terbesar di Rusia)