Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemerintah Indonesia telah menyusun skenario percepatan transisi energi yang dinamai Accelerated Renewable Energy Development (ARED).
ARED berisi target pengurangan pembangkit listrik energi fosil serta penambahan energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih progresif dibanding skenario normal atau business as usual (BAU).
Dalam skenario normal atau BAU—yang tidak mempertimbangkan penambahan EBT dan penggunaan teknologi rendah karbon—pembangkit listrik Indonesia diproyeksikan menghasilkan emisi gas rumah kaca hingga 619 juta ton CO2 pada 2034.
Sedangkan dalam skenario percepatan transisi energi atau ARED, emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik nasional diperkirakan jauh lebih rendah, hanya 362 juta ton CO2 pada 2034, seperti terlihat pada grafik.
(Baca: Proyeksi Bauran Energi Listrik Indonesia 2025-2034, Batu Bara Tetap Mendominasi)
Berikut perbandingan proyeksi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik Indonesia dalam skenario ARED dan BAU periode 2025-2034:
- Tahun 2025: Skenario ARED 299 juta ton CO2, lebih rendah 17% dibanding BAU
- Tahun 2026: Skenario ARED 308 juta ton CO2, lebih rendah 19% dibanding BAU
- Tahun 2027: Skenario ARED 321 juta ton CO2, lebih rendah 21% dibanding BAU
- Tahun 2028: Skenario ARED 329 juta ton CO2, lebih rendah 25% dibanding BAU
- Tahun 2029: Skenario ARED 335 juta ton CO2, lebih rendah 28% dibanding BAU
- Tahun 2030: Skenario ARED 348 juta ton CO2, lebih rendah 30% dibanding BAU
- Tahun 2031: Skenario ARED 346 juta ton CO2, lebih rendah 35% dibanding BAU
- Tahun 2032: Skenario ARED 360 juta ton CO2, lebih rendah 36% dibanding BAU
- Tahun 2033: Skenario ARED 363 juta ton CO2, lebih rendah 39% dibanding BAU
- Tahun 2034: Skenario ARED 362 juta ton CO2, lebih rendah 42% dibanding BAU
(Baca: Kebutuhan Batu Bara Indonesia Meningkat dalam Skenario Transisi Energi 2025-2034)