Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, luas area rehabilitasi mangrove di Tanah Air terus menurun dalam empat tahun terakhir.
Pada 2023 luasnya hanya 6.010 hektare (ha), turun dari 2022 yang seluas 7.359 ha.
Sementara, capaian rehabilitasi mangrove tertinggi terjadi pada 2021 yang mencapai 37.563 ha.
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ini dilakukan dengan penanaman pohon di daerah pedalaman dan pesisir melalui restorasi hutan bakau.
KLHK menyebut, mangrove memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim karena mampu menyerap karbon lima kali lebih efektif ketimbang tanaman darat.
Di samping itu, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BGRM) akan menargetkan rehabilitasi lahan mangrove seluas 32 ribu ha pada tahun ini.
Kepala BGRM Hartono Prawiraatmadja menjelaskan, program rehabilitasi ini akan bekerja sama dengan Bank Dunia. Adapun rehabilitasi tahun ini akan difokuskan pada empat provinsi, yakni Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur.
“Bank Dunia memastikan dukungannya, hingga program rehabilitasi mangrove tersebut dilaksanakan pada Maret 2024,” kata Hartono dalam keterangannya, dilansir dari Katadata, Kamis (29/2/2024).
Melalui program Mangrove for Coastal Resilience (M4Cr), ia berharap dapat meningkatkan peluang mata pencaharian dan bisnis masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan mangrove.
Bank Dunia juga telah menyalurkan pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim sebesar US$28,6 juta atau setara Rp463,6 milair (asumsi Rp16.210 per US$ hingga akhir 2023.
“Sungguh ini kerja sama yang kuat, kita saling mendukung, terlebih Indonesia mempunyai target yang besar pengurangan emisi karbon menjadi 358 juta CO2 pada 2030,” kata Direktur Pelaksana Kepala Bagian Keuangan Bank Dunia Anshula Kant.
(Baca: Total Mangrove Indonesia 20,37% dari Luas Dunia, Sebagian Besar dengan Kondisi Lebat)