Akibat krisis finansial 1998 beberapa bank dibekukan dan diambil alih oleh pemerintah dan dititipkan ke Badan Pusat Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Salah satunya adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dimana pemegang sahamnya adalah Sjamsul Nursalim. Utang saham pengendali BDNI ke pemerintah saat itu mencapai Rp 47,3 triliun.
Total kewajiban tersebut terdiri atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 30,9 triliun, simpanan nasabah dan utang Rp 7,1 triliun. Ditambah kredit likuiditas BI Rp 4,7 triliun, serta letter of Credit (L/C) dan utang lainnya Rp 4,59 triliun. Dari jumlah utang tersebut, jumlah aset yang dimiliki BDNI untuk membayar kewajiban ke pemerintah hanya sebesar Rp 18,85 triliun. Sehingga Sjamsul Nursalim masih memiliki kewajiban Rp 28,4 triliun. Kemudian kekurangan utang tersebut dibayar dengan aset kepemilikan saham Dipasena dan Gadjah Tunggal serta setoran tunai.
Namun, pada April 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsjad Temenggung sebagai tersangka korupsi kasus penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Syafruddin dianggap bertanggung jawab dalam penerbitan surat keterangan BLBI untuk BDNI yang dianggap merugikan negara Rp 3,7 triliun.