Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia berupaya mendongkrak nilai tambah sumber daya nasional. Salah satunya melalui hilirisasi pertambangan dan pembatasan ekspor bahan mentah, terutama nikel.
Seiring dengan itu, neraca perdagangan Indonesia tercatat berhasil meraih surplus 44 bulan berturut-turut, tepatnya sejak Mei 2020 sampai Desember 2023.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), selama periode tersebut surplus neraca perdagangan Indonesia konsisten disumbang oleh sektor nonmigas.
Di sisi lain, sektor migas selalu menyumbang defisit, seperti terlihat pada grafik.
Sikap Tim Sukses Capres-Cawapres terhadap Hilirisasi
Adapun menjelang Pemilu 2024, perwakilan tim sukses dari 3 pasangan capres-cawapres menyatakan akan melanjutkan program hilirisasi.
Dewan Pakar Tim Nasional Anies-Muhaimin, yaitu Wijayanto Samirin, mengatakan pasangan kandidatnya sepakat memperluas program hilirisasi nikel dan sawit.
"Indonesia itu menguasai 60% produksi CPO dan hampir 50% produksi nikel di dunia. Artinya, Indonesia harus bisa menjadi penentu harga kedua komoditas," kata Wijayanto dalam diskusi Katadata Forum di Hotel Aone, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2024).
Namun, Wijayanto menekankan bahwa praktik hilirisasi industri tambang akan dibatasi dan harus memenuhi prinsip environment, social, and governance (ESG).
Kemudian Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, yaitu Dradjad Wibowo, mengatakan pasangan kandidatnya akan melanjutkan hilirisasi terhadap 21 komoditas.
Dradjad pun menekankan bahwa program hilirisasi harus memperhatikan kelestarian lingkungan.
"Keberhasilan menjaga kelestarian hutan membuat hilirisasi kita bisa berjalan terus. Tapi kegagalan menjaga kelestarian hutan akan membuat hilirisasi kita mandeg,“ kata Drajad.
Tak ketinggalan Wakil Sekretaris Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, yaitu Hotasi Nababan, mengatakan pasangan kandidatnya juga akan melanjutkan hilirisasi.
"Hilirisasi yang digarap serius menjadi salah satu kunci mencapai target pertumbuhan ekonomi 7%," kata Hotasi.
Mengantisipasi Tantangan Hilirisasi
Kendati para tim sukses capres-cawapres optimistis akan hilirisasi, kelanjutan kebijakan ini memunculkan sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi.
Menurut Product Manager Katadata Green, Jeany Hartriani, tantangan dalam hilirisasi pertambangan adalah risiko deforestasi, konflik sosial, serta kerusakan lingkungan.
Ada pula tantangan dalam hal pengelolaan limbah, keterlibatan komunitas dan masyarakat lokal, ketersediaan tenaga kerja lokal yang terampil, serta munculnya tindakan korupsi dan mafia tambang.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Jeany memaparkan tiga rekomendasi terkait program hilirisasi tambang, berdasarkan hasil rangkaian diskusi Katadata Green bersama organisasi masyarakat dan lembaga riset.
"Di bidang tata kelola, butuh adanya peta jalan (roadmap) yang detail dan target terukur, penerapan prinsip ESG untuk mengurangi dampak negatif hilirisasi, serta kepastian transfer teknologi dan pengetahuan," kata Jeany dalam diskusi Katadata Forum di Hotel Aone, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2024).
"Di bidang kebijakan investasi, butuh pengkajian ulang insentif seperti tax holiday dan diskon royalti untuk mencegah over-investasi smelter, dan fokus pada kebijakan pelarangan ekspor barang mentah," ujarnya.
"Terakhir, di bidang pemilihan fokus hilirisasi, rekomendasinya mencakup pembuatan skala prioritas hilirisasi berdasarkan kesiapan industri dan komoditas, serta pengembangan industri daur ulang limbah baterai," kata Jeany.
(Baca: Proyeksi Bank Dunia, Harga Nikel Turun Lagi pada 2024)