Big Mac Index merupakan indeks yang dirancang The Economist untuk membandingkan nilai mata uang antar negara.
Indeks ini dirancang berdasar teori keseimbangan daya beli atau purchasing-power parity (PPP), yang berasumsi bahwa daya beli dua mata uang terhadap suatu barang idealnya adalah setara.
Dalam indeks ini The Economist menggunakan harga Big Mac di Amerika Serikat (AS) sebagai tolok ukur.
Adapun Big Mac dipilih sebagai indikator karena burger ini sangat populer di gerai McDonald's yang tersebar secara global. Big Mac di berbagai negara juga diproduksi dari bahan dasar yang sama seperti daging, roti, keju, selada, bawang, dan sebagainya.
Franc Swiss Tertinggi, Rubel Rusia Terendah
Berdasarkan metode Big Mac Index, mata uang yang nilainya paling melampaui batas wajar atau overvalued dari 57 negara yang disurvei adalah franc Swiss.
Pada Januari 2022 harga Big Mac di Swiss mencapai 6,5 franc atau setara US$7, sementara di AS harganya US$5,81. Dengan demikian, mata uang Swiss dinilai overvalued sebesar 20,2% dari dolar AS.
Sementara itu, dalam indeks ini rupiah berada di peringkat 55 dari total 57 negara.
The Economist mencatat pada Januari 2022 harga Big Mac di Indonesia adalah Rp34.000 atau setara US$2,37. Hal ini menjadikan rupiah dinilai berada di bawah batas wajar atau undervalued sebesar 59,3% dibanding dolar AS.
Namun, rubel dinilai lebih rendah lagi. The Economist mencatat harga Big Mac di Rusia adalah 135 rubel atau US$2, sehingga dinilai undervalued sebesar 70% ketimbang dolar AS.
Angka tersebut juga menjadikan rubel Rusia berada di posisi terbawah dari 57 negara yang disurvei dalam Big Mac Index.
Kendati demikian, The Economist mengakui bahwa indeks ini tidak bisa dijadikan sebagai patokan mutlak.
"Burgernomics tidak pernah dimaksudkan sebagai ukuran yang tepat dari ketidaksejajaran mata uang, hanya alat untuk membuat teori nilai tukar lebih mudah dicerna," tulis mereka dalam situs resminya.
(Baca Juga: Ketidakpastian Global Meningkat, Indeks Dolar AS Dekati Level 100)