PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sedang dilanda krisis keuangan. Maskapai penerbangan milik Pemerintah Indonesia tersebut mengalami kerugian yang sangat besar dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, sebagian utang/kewajiban Garuda Indonesia tersebut ada yang sudah dan akan jatuh tempo sehingga membebani keuangan emiten yang memiliki kode perdagangan di bursa GIAA tersebut.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipulikasikan, kewajiban Garuda jangka panjang mencapai US$ 7,05 miliar atau setara Rp 100,8 triliun (kurs Rp 14.307,01 per US$) pada akhir September 2021. Jumlah tersebut sudah dikurangi bagian yang jatuh tempo dalam satu tahun.
Secara rinci, utang jangka panjang GIAA meliputi liabilitas sewa sebesar US$ 3,96 miliar, liabilitas estimasi biaya pengembalian dan pemeliharaan pesawat US$ 2,71 miliar, serta pinjaman jangka panjang US$ 378,72 juta.
Badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di sektor transportasi udara tersebut mengalami kerugian US$ 1,66 miliar sepanjang periode Januari - September 2021. Dengan kerugian yang dialami tersebut membuat saldo ruginya semakin membengkak.
Total aset maskapai penerbangan milik pemerintah tersebut hanya sebesar US$ 9,42 miliar pada September 2021, sementara kewajibannya mencapai US$ 13,03 miliar. Dengan demikian, ekuitas BUMN tersebut tercatat minus US$ 3,61 miliar.
(Baca: Krisis Garuda Indonesia, Berapa Utang yang Jatuh Tempo dalam 1 Tahun ke Depan?)