Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, salah satunya melalui transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).
Untuk mempercepat transisi tersebut, pemerintah sudah menargetkan agar porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa naik hingga 23% pada 2025.
Namun, menurut laporan Kementerian ESDM, sampai akhir 2022 bauran EBT masih berada di level 14,11%.
Jika melihat enam tahun ke belakang, tren pertumbuhan bauran EBT juga fluktuatif dan cenderung stagnan, hanya naik atau turun sekitar 1-2 poin persentase per tahunnya.
Seandainya tren itu terus berlanjut, bauran EBT mungkin hanya mampu mencapai kisaran 17% pada 2025, jauh dari target yang diharapkan.
(Baca: Penerimaan Negara dari Energi Terbarukan Masih Minim sampai 2022)
Di sisi lain, meski bauran energi fosil seperti gas bumi dan bahan bakar minyak (BBM) turun, peran batu bara dalam pasokan energi nasional justru tumbuh pesat.
Sepanjang 2017-2022 bauran batu bara sudah meningkat 8,8 poin persentase. Sementara bauran EBT hanya tumbuh 1,04 poin persentase dalam periode sama.
Lemahnya pertumbuhan EBT ini tercatat sejalan dengan minimnya investasi ke sektor tersebut.
Menurut laporan Kementerian ESDM, pada 2017 realisasi investasi di sektor EBT Indonesia sempat mencapai USD 2 miliar. Kemudian di tahun-tahun berikutnya cenderung menurun, hingga menjadi USD 1,6 miliar pada 2022.
Padahal, menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), untuk mendorong percepatan transisi energi Indonesia butuh investasi USD 314,5 miliar selama periode 2018-2030, atau rata-rata sekitar USD 17,4 miliar per tahun.
"Hambatan signifikan dalam mendorong transisi energi Indonesia adalah pendanaan dan investasi. Sumber pembiayaan perlu diperluas dan kapasitas pembiayaan lokal perlu ditingkatkan," kata IRENA dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook yang dirilis Oktober 2022.
"Dalam banyak kasus, bank-bank di Indonesia belum menerapkan pembiayaan untuk energi terbarukan. Pengembang yang butuh pembiayaan proyek energi terbarukan perlu mendekati investor atau lembaga keuangan internasional," lanjutnya.
(Baca: Investasi di Sektor Energi Terbarukan Masih Minim sampai 2022)