Serangan militer Rusia ke Ukraina banyak didanai dari hasil ekspor energi fosil. Hal ini diungkapkan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), lembaga riset asal Finlandia.
"Pendapatan dari ekspor bahan bakar fosil menjadi pendukung utama pembiayaan militer dan agresi brutal Rusia terhadap Ukraina," tegas CREA dalam situs resminya.
Menurut data yang dihimpun CREA, dalam 100 hari pertama invasi ke Ukraina, Rusia telah mengantongi pendapatan dari ekspor energi fosil sebesar €93 miliar atau sekitar Rp1,42 kuadriliun (asumsi kurs Rp15.322 per euro).
Pendapatan tersebut dinilai sudah melampaui kebutuhan pembiayaan militer Rusia sepanjang 100 hari pertama perang, yang totalnya diperkirakan berjumlah €84 miliar.
Adapun sejak awal perang sampai 11 Juli 2022 Cina tercatat sebagai negara yang paling banyak membeli minyak bumi dari Rusia.
Berikut daftar 10 negara pembeli minyak bumi terbesar dari Rusia sejak awal perang 24 Februari 2022 sampai 11 Juli 2022:
- Cina: €21,7 miliar
- Belanda: €8,4 miliar
- Jerman: €6,6 miliar
- Turki: €4,5 miliar
- India: €4,1 miliar
- Polandia: €3,8 miliar
- Italia: €3,5 miliar
- Prancis: €2,2 miliar
- Belgia: €2 miliar
- Bulgaria: €1,3 miliar
CREA pun mendorong negara-negara untuk membatasi bahkan menyetop total pembelian energi fosil dari Rusia, demi membantu mengakhiri kekacauan perang di wilayah Ukraina.
"Buat rencana untuk mengganti energi fosil Rusia dengan energi bersih sesegera mungkin," tambah CREA.
(Baca Juga: Biayai Invasi Putin, Ini Negara Pembeli Gas Rusia Terbesar Selama Perang)