Sejak awal tahun sampai 15 April 2024 (year-to-date/ytd), nilai tukar mata uang negara-negara Asia umumnya melemah di hadapan dolar AS.
Berdasarkan data AsianBondsOnline, yen Jepang (JPY) paling terpukul dengan persentase penurunan nilai tukar 8,58% (ytd).
Pelemahan signifikan juga terjadi pada baht Thailand (THB) dan won Korea Selatan (KRW), yang nilai tukarnya terhadap dolar AS turun di kisaran 6% (ytd).
Kemudian ringgit Malaysia (MYR), dong Vietnam (VND), kip Laos (LAK), dolar Singapura (SGD), dan dolar Brunei Darussalam (BND) melemah di kisaran 3% (ytd).
Sementara nilai tukar rupiah Indonesia (IDR) dan peso Filipina (PHP) melemah di kisaran 2% (ytd).
Pelemahan nilai tukar yuan China (CNY), dolar Hong Kong (HKD), dan kyat Myanmar (MMK) lebih ringan di kisaran 1% (ytd) ke bawah.
Adapun dari 14 mata uang Asia yang masuk basis data AsianBondsOnline, hanya ada 1 yang menguat terhadap dolar AS, yakni riel Kamboja (KHR) seperti terlihat pada grafik.
Menurut International Monetary Fund (IMF), menguatnya dolar AS bisa mengakibatkan perlambatan ekonomi di negara-negara berkembang.
Dalam laporan External Sector Report edisi Juli 2023, IMF mengestimasikan kenaikan nilai tukar dolar AS sebesar 10% bisa menurunkan nilai total barang dan jasa (economic output) di negara berkembang hingga 1,9% setelah 1 tahun, dan dampaknya bisa berlanjut hingga 2,5 tahun.
(Baca: Rupiah Tembus Rp16.000 per Dolar AS, Apa Dampaknya?)