Menurut World Health Organization (WHO), konsumsi minuman berpemanis merupakan faktor penyebab utama obesitas dan diabetes.
Karena dampaknya yang buruk bagi kesehatan, WHO mendorong negara-negara untuk mengontrol konsumsi minuman berpemanis lewat instrumen pajak atau cukai.
"Cukai minuman manis adalah aksi komprehensif untuk mengurangi konsumsi gula. Sama seperti cukai tembakau yang membantu mengurangi konsumsi rokok," kata WHO dalam laporan Taxes on sugary drinks: Why do It? (2017).
(Baca: Mayoritas Warga RI Sering Konsumsi Makanan dan Minuman Manis)
Berdasarkan data Global Food Research Program, sampai awal 2022 sudah ada sekitar 55 negara yang menerapkan cukai minuman berpemanis.
Di kawasan Asia Tenggara, cukai tersebut baru diberlakukan oleh Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Setiap negara memiliki struktur tarif yang berbeda-beda. Namun, secara umum tarif cukai paling tinggi dipatok oleh Brunei, yakni Rp4.500/liter (asumsi kurs Rp15.000/US$).
Kemudian tarif cukai minuman berpemanis di Filipina berkisar Rp1.800 sampai Rp3.600/liter, Thailand Rp2.200/liter, dan Malaysia Rp1.500/liter.
Sampai saat ini Indonesia belum menerapkan cukai serupa. Adapun Direktorat Jenderal Bea Cukai sudah melakukan kajian soal ini sejak tahun lalu.
"Dalam UU Cukai Nomor 39 Tahun 2007 disebutkan bahwa salah satu karakteristik barang yang dapat dikenakan cukai adalah 'barang yang apabila dikonsumsi berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif bagi konsumen'," kata Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam siaran pers di situs resminya, Minggu (10/7/2022).
"Atas dasar itu, dirasa perlu untuk melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap Minuman Bergula Dalam Kemasan (MBDK) demi ekstensifikasi cukai," lanjutnya.
(Baca: Minuman Bergula Bisa Kena Cukai, Berapa Penjualannya Tiap Tahun?)