Wilayah Asia Tenggara umumnya memiliki iklim tropis, di mana matahari bersinar sepanjang tahun.
Dengan begitu, negara-negara Asia Tenggara sangat berpeluang memanfaatkan teknologi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai sumber energi bersihnya.
(Baca: Energi Surya Jadi Andalan Banyak Negara untuk Mitigasi Perubahan Iklim)
Menurut data Global Energy Monitor (GEM), negara Asia Tenggara yang memiliki PLTS terbesar adalah Vietnam. Pada Januari 2023 mereka tercatat memiliki PLTS beroperasi dengan kapasitas total 12.300 megawatt (MW).
Angka itu adalah akumulasi dari PLTS yang kapasitasnya minimal 20 MW, sedangkan PLTS yang lebih kecil tidak masuk hitungan.
Negara lain yang cukup banyak mengoperasikan PLTS di skala Asia Tenggara adalah Filipina, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Sedangkan PLTS beroperasi di Myanmar, Singapura, dan Indonesia jauh lebih rendah seperti terlihat pada grafik.
(Baca: PLN Gencar Naikkan Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap pada 2022)
Menurut International Energy Agency (IEA), teknologi listrik tenaga surya kini sudah semakin murah.
"Harga modul fotovoltaik sudah turun 80% selama satu dekade terakhir berkat inovasi berkelanjutan di seluruh rantai pasokan. Energi surya fotovoltaik telah menjadi teknologi pembangkit listrik yang paling terjangkau di banyak wilayah," kata IEA dalam laporan World Energy Outlook edisi Oktober 2022.
Namun, sampai akhir 2022 biaya pembangkitan listrik tenaga surya di Indonesia masih lebih mahal dibanding pembakaran batu bara.
World Economic Forum (WEF) menilai, kinerja transisi energi Indonesia masih menghadapi tantangan karena persoalan regulasi dan investasi.
"Dengan tidak adanya subsidi langsung untuk energi terbarukan (di Indonesia), mekanisme tarif saat ini tidak memungkinkan energi terbarukan untuk bersaing secara adil dengan infrastruktur berbasis bahan bakar fosil," kata WEF dalam laporan Fostering Effective Energy Transition 2023.
(Baca: Pembangkitan Listrik Tenaga Surya Masih Lebih Mahal Dibanding PLTU pada 2022)