Bank memiliki peran strategis dalam mitigasi perubahan iklim, terutama lewat pembiayaan transisi energi dan proyek ramah lingkungan lainnya.
Namun, dalam beberapa tahun belakangan, porsi pembiayaan bank untuk sektor energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih sangat minim bila dibandingkan dengan energi fosil.
Hal ini tercatat dalam laporan riset hasil kolaborasi Prakarsa dan ResponsiBank Indonesia yang bertajuk Melacak Kemajuan Sektor Perbankan dalam Pembiayaan Transisi Energi Indonesia untuk Mempercepat Net Zero Emission (2022).
Menurut laporan tersebut, selama periode 2016-Juni 2022, bank BUMN dengan aset terbesar nasional, yaitu Bank Mandiri sudah menyalurkan pembiayaan untuk sektor energi sekitar US$11,68 juta.
Namun, sekitar US$11,1 juta (95%) di antaranya dikucurkan untuk sektor energi fosil, sedangkan untuk energi terbarukan hanya US$583,9 ribu (5%).
Kecenderungan serupa juga dilakukan bank-bank lain yang beroperasi di Indonesia, seperti terlihat pada grafik di atas.
(Baca: Investasi di Sektor Energi Terbarukan Masih Minim sampai 2022)
Jika dilihat dari persentasenya, bank dengan porsi pembiayaan energi fosil tertinggi adalah OCBC Bank (99%). Sementara, HSBC menjadi bank dengan porsi pembiayaan EBT paling besar (20%).
Berikut rincian persentase pembiayaan dari 10 bank tersebut untuk sektor energi selama periode 2016-Juni 2022:
- Bank Mandiri: 95% pembiayaan untuk energi fosil, 5% untuk energi baru terbarukan (EBT)
- BRI: 92% energi fosil, 8% EBT
- BNI: 88% energi fosil, 12% EBT
- BCA: 87% energi fosil, 13% EBT
- CIMB Group: 92% energi fosil, 8% EBT
- HSBC: 80% energi fosil, 20% EBT
- Maybank: 92% energi fosil, 8% EBT
- OCBC Bank: 99% energi fosil, 1% EBT
- Islamic Development Bank (IsDB): 92% energi fosil, 8% EBT
- Bank BJB: 95% energi fosil, 5% EBT
(Baca: Meski Ada Perjanjian Paris, Pembiayaan Energi Fosil G20 Tetap Tinggi)
Menanggapi temuan ini, Prakarsa dan Responsibank Indonesia mendorong lembaga perbankan agar menyusun kebijakan dan target khusus terkait pembiayaan energi terbarukan, atau proyek ramah lingkungan lainnya.
"Masyarakat selaku nasabah perbankan dapat mendorong atau menuntut bank agar lebih turut bertanggung jawab atas pembiayaan yang dilakukannya," kata tim Prakarsa dalam laporannya.
"Masyarakat juga dapat lebih teliti membedakan antara praktik green banking atau greenwashing," lanjutnya.
Prakarsa dan ResponsiBank Indonesia menghimpun data ini dari Bloomberg, Refinitiv, IJ Global, Trade Finance Analytics, laporan tahunan dan pengajuan portofolio perusahaan, serta media massa.
Semua nominal yang ditemukan kemudian dikonversi ke dolar AS, dengan menggunakan nilai tukar yang berlaku pada saat pembiayaan diberikan atau dilaporkan.
Pembiayaan yang dilacak berfokus pada pinjaman (loans), penjaminan (underwriting), saham (shares), dan obligasi (bonds) yang terkait sektor energi fosil dan terbarukan, sedangkan sektor lainnya tidak dihitung.
"Karena semua pembiayaan yang terkait kegiatan energi lain maupun sektor non-energi diabaikan, total pembiayaan yang dianalisis untuk setiap lembaga keuangan biasanya akan lebih rendah daripada pembiayaan aktual," kata tim Prakarsa dalam laporannya.
Adapun bank yang diriset ini adalah bank-bank terpilih yang telah tergabung dalam Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI), dan telah berkomitmen mengintegrasikan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG).
(Baca: 10 Bank Swasta Pendukung Energi Fosil Terbesar, Mayoritas dari AS)