Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023 setidaknya ada 241 kasus konflik agraria di Indonesia.
Konflik tersebut melibatkan area seluas 638,2 ribu hektare, serta berdampak pada 135,6 ribu kepala keluarga (KK).
Jumlah KK yang terdampak konflik agraria pada 2023 berkurang dibanding 2022. Kendati begitu, jumlah kasusnya bertambah seperti terlihat pada grafik.
Dalam laporan yang diterima redaksi Katadata (15/1/2024), KPA menyebut, "Terus meningkatnya konflik agraria menandakan bahwa pelaksanaan agenda reforma agraria yang telah dijanjikan selama kurang lebih satu dasawarsa ini tidak berjalan."
KPA mencatat, kasus konflik agraria pada 2023 banyak terkait sektor usaha perkebunan (108 kasus), bisnis properti (44 kasus), pertambangan (32 kasus), dan proyek infrastruktur (30 kasus).
Ada pula letusan konflik terkait sektor kehutanan (17 kasus), pesisir dan pulau kecil (5 kasus), serta fasilitas militer (5 kasus).
KPA memperoleh data ini dari sejumlah sumber, yaitu:
- Korban yang melaporkan kejadian konflik agraria ke KPA, baik secara langsung atau melalui perantara;
- Laporan dari anggota dan jejaring KPA;
- Pemantauan lapangan;
- Pemantauan pemberitaan media massa;
- Database konflik dalam sistem respons cepat darurat agraria; dan
- Hasil investigasi lapangan.
Dengan sumber daya organisasi yang terbatas, data yang dihimpun KPA mungkin belum mewakili seluruh konflik agraria di Indonesia.
KPA juga hanya mencatat kasus "konflik agraria struktural", yakni konflik lahan yang disebabkan kebijakan pejabat publik, serta mengakibatkan terancamnya dan/atau tersingkirnya hak-hak konstitusional masyarakat atas sumber-sumber agraria.
Data ini tidak termasuk sengketa pertanahan biasa, seperti perebutan hak waris, sengketa lahan antar perusahaan, dan sebagainya.
(Baca: Belum Seluruh Rumah Tangga Indonesia Punya SHM Tanah Atas Nama Pribadi)