Setiap tahun pemerintah Indonesia mengeluarkan anggaran puluhan hingga ratusan triliun rupiah untuk membayar pensiun dan uang tunggu aparatur negara.
Aparatur negara tersebut mencakup Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), serta pejabat atau pegawai pemerintah lainnya.
(Baca: Lansia RI yang Ditopang Jaminan Pensiun Berkurang sampai 2024)
Menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang sudah diaudit (LKPP Audited), nilai belanja pensiun dan uang tunggu pegawai pemerintah pada 2014 mencapai Rp83,88 triliun.
Kemudian nilainya terus membesar hingga menjadi Rp140,28 triliun pada 2023, seperti terlihat pada grafik.
Secara kumulatif, sepanjang 2014—2023 nilai belanja pensiun dan uang tunggu pegawai pemerintah sudah tumbuh 67%.
Selama periode tersebut belanja pensiun dan uang tunggu juga konsisten menjadi pos belanja pegawai terbesar, dengan proporsi sekitar 30—34% dari total belanja pegawai pemerintah per tahun.
Sebagai catatan, belanja pensiun di sini adalah penghasilan yang diberikan untuk pensiunan pegawai pemerintah sebagai jaminan hari tua, baik untuk pegawai atau keluarganya selama periode tertentu.
Kemudian uang tunggu adalah penghasilan yang diberikan untuk pegawai pemerintah yang diberhentikan dengan hormat dari pekerjaannya karena:
- Perubahan susunan kantor, penghapusan kantor, atau perubahan jumlah pegawai, sehingga tenaganya untuk sementara waktu tidak diperlukan;
- Tidak cakap, akan tetapi masih pula memenuhi syarat-syarat untuk sesuatu jabatan yang lain; atau
- Sakit.
Menurut keterangan di situs resmi PT Taspen (Persero), salah satu badan pengelola dana pensiun PNS, selama periode April 1994-Desember 2008 pembayaran pensiun pegawai pemerintah bersumber dari gabungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dana pensiun hasil pengembangan iuran pegawai.
Namun, sejak Januari 2009 sebanyak 100% pembayarannya berasal dari APBN.
(Baca: Pertumbuhan Dana Iuran Pensiun PNS di Taspen dan Asabri 2018-2023)