Menurut International Monetary Fund (IMF), nilai subsidi bahan bakar fosil secara global mencapai US$7 triliun pada 2022, meningkat sekitar 18% dibanding 2021 sekaligus menjadi rekor tertinggi baru.
Nilai itu mencakup subsidi bensin, solar, minyak tanah, dan komoditas minyak bumi lainnya; gas bumi termasuk LPG; batu bara; serta subsidi listrik berbasis energi fosil di 168 negara.
(Baca: Pemerintah Naikkan Anggaran Subsidi BBM pada 2024)
Adapun angka US$7 triliun itu terdiri dari "subsidi eksplisit" senilai US$1,3 triliun, dan "subsidi implisit" US$5,7 triliun.
Subsidi eksplisit adalah insentif langsung dari pemerintah yang membuat harga jual bahan bakar di tingkat eceran lebih murah dibanding harga pasokannya.
Sedangkan subsidi implisit adalah insentif tidak langsung, seperti keringanan pajak konsumsi, pembebasan pajak lingkungan bagi pengguna/industri bahan bakar fosil, dan sebagainya.
Menanggapi naiknya subsidi tersebut, IMF pun mendorong negara-negara untuk mengevaluasi kebijakan energinya, demi mengurangi pencemaran udara dan mengantisipasi krisis iklim.
"Penghapusan subsidi eksplisit untuk bahan bakar fosil, serta penerapan pajak korektif seperti pajak karbon, bisa mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) global hingga 43% pada 2030," kata tim riset IMF dalam laporan IMF Fossil Fuel Subsidies Data: 2023 Update.
"Hal ini sejalan dengan upaya menjaga laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius," lanjutnya.
(Baca: Suhu Permukaan Bumi Naik 0,89 Derajat Celcius pada 2022)
Namun, penghapusan subsidi akan berdampak pada kenaikan harga bahan bakar, yang kemudian rawan memicu gejolak sosial-ekonomi-politik di banyak negara.
Karena itu IMF merekomendasikan agar penghapusan subsidi diiringi kebijakan perlindungan bagi masyarakat berpendapatan rendah.
"Penghapusan subsidi bahan bakar bisa jadi masalah rumit. Pemerintah harus merancang, mengomunikasikan, dan melaksanakan reformasi harga bahan bakar dengan hati-hati, sebagai bagian dari paket kebijakan komprehensif dan mengedepankan aspek manfaatnya," kata tim IMF.
"Sebagian pendapatan negara dari kenaikan harga energi harus digunakan untuk memberi kompensasi kepada rumah tangga rentan. Sisanya bisa digunakan untuk memangkas pajak pekerja dan investasi, serta pendanaan sektor publik lainnya, seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan energi bersih," kata mereka.
(Baca: Emisi Karbon Global Naik Lagi pada 2022, Pecahkan Rekor Baru)