Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampaknya lebih memprioritaskan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) ketimbang kesejahteraan pekerja rumah tangga (PRT).
Hal ini terlihat dari timpangnya kecepatan kinerja DPR dalam merampungkan legislasi terkait isu-isu tersebut.
Menurut keterangan di situs resmi DPR, Badan Musyawarah (Bamus) DPR pertama kali menugaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN kepada Panitia Khusus (Pansus) pada 3 November 2021.
Kemudian pembahasannya berjalan sangat cepat, hingga Rapat Paripurna DPR menyetujui pengesahan RUU IKN menjadi Undang-Undang (UU) pada 18 Januari 2022.
Jika ditotalkan, sejak awal penugasan sampai persetujuan di DPR, pengerjaan UU IKN hanya memakan waktu 77 hari atau sekitar 2,5 bulan.
Lain halnya dengan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). RUU ini pertama kali diusulkan pada 2004, dan sejak saat itu sudah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sampai sekarang.
Namun, menurut keterangan di situs resmi DPR, sampai hari ini (20/2/2023) pembahasan RUU PPRT masih tertahan di tahap RUU Usulan Komisi.
Untuk bisa disahkan, RUU PPRT masih harus melewati empat tahapan lagi, yakni harmonisasi, penetapan usul DPR, pembicaraan tingkat I, dan pembicaraan tingkat II, yang belum ada kejelasan targetnya.
Secara kumulatif agenda pembahasan RUU PPRT sudah tercatat di Prolegnas selama 18 tahun atau sekitar 6.570 hari, tapi sampai sekarang statusnya masih jauh dari selesai.
Menurut Indonesian Parliamentary Center (IPC), ada pula RUU lain yang bernasib sama.
"Ada sejumlah RUU urgent yang sudah lama pembahasannya, namun tidak diprioritaskan atau lamban, antara lain RUU Masyarakat Adat (sejak 2009) dan RUU PPRT (sejak 2004)," kata IPC dalam laporan Catatan Akhir Tahun Kinerja DPR RI 2022 yang dirilis Selasa (17/1/2023).
"Untuk RUU PPRT, misalnya, mengapa urgent, karena berdasarkan data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dan Koalisi Sipil untuk UU PPRT, sepanjang 2017-2022 ada 2.637 PRT mengakui bahwa mereka mendapatkan kasus kekerasan," lanjut IPC.
IPC menyebut dalam periode 2017-2022 ada sebanyak 1.148 PRT yang mengalami kasus kekerasan ekonomi berupa tidak dibayarkannya upah, 1.382 kasus kekerasan psikis seperti penyekapan, 1.027 kasus kekerasan fisik, 831 kasus kekerasan seksual, dan 1.487 kasus tindak perdagangan orang oleh penyalur.
Merespons masalah ini, IPC pun merekomendasikan agar DPR menyusun standar prioritas pengesahan RUU sesuai dengan persoalan faktual yang penting, mendesak, dan sungguh-sungguh memerlukan payung perlindungan hukum.
(Baca: Pekerja Migran Indonesia Didominasi Profesi Pembantu Rumah Tangga)