Pemilu pertama di Indonesia berlangsung pada 1955. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun tersebut persentase anggota DPR RI perempuan masih rendah, hanya 5,88%.
Pada pemilu tahun-tahun berikutnya, keterwakilan perempuan di DPR perlahan naik. Kendati demikian, pada Pemilu 1997 dan 1999 persentasenya kembali turun.
“Namun, setelah dilakukan affirmative action (kebijakan afirmasi) terhadap perempuan dalam bidang politik, persentase perempuan di parlemen meningkat pada hasil Pemilu 2004,” jelas BPS.
BPS menerangkan, affirmative action dimulai dengan mewajibkan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam daftar calon legislatif (caleg) pusat dan daerah, serta pada kepengurusan partai politik.
Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ditambahkan ketentuan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam komposisi penyelenggara pemilu.
“Ketentuan ini belum berupa kewajiban, namun sudah merupakan langkah maju untuk memperluas keterwakilan perempuan dalam politik,” terang BPS.
Menurut BPS, kebijakan affirmative action membawa dampak positif pada keterwakilan perempuan di parlemen. Hingga Pemilu 2024, misalnya, persentase perempuan di DPR cenderung naik.
“Jumlah perempuan dalam DPR RI sejak Pemilu 2019 hingga 2024 meningkat dari 120 menjadi 129 orang. Ini merupakan persentase keterwakilan perempuan dalam DPR RI tertinggi sepanjang sejarah Indonesia,” ungkap DPR.
Data terakhir pada 2024, proporsi keterwakilan perempuan tercatat sebesar 22,24%. Ini menjadi yang tertinggi sejak 1955.
Meskipun tertinggi dan cenderung ada peningkatan, praktis anggota DPR perempuan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2024 tidak pernah lebih dari 30%.
(Baca: Segini Dana Reses Anggota DPR RI menurut ICW pada 2025)