Konflik agraria pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meningkat dibanding era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Peningkatan konflik ini terjadi dalam hal jumlah kasus, jumlah kepala keluarga (KK) yang terdampak, maupun luas area konfliknya.
Berikut perbandingan angka konflik agraria era SBY dan Jokowi menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA):
Era Presiden SBY (2005-2014):
- Jumlah konflik agraria: 1.520 kasus
- Jumlah masyarakat terdampak: 977.103 KK
- Luas konflik agraria: 5.711.396 hektare
Era Presiden Jokowi (2015-2023):
- Jumlah konflik agraria: 2.939 kasus
- Jumlah masyarakat terdampak: 1.759.308 KK
- Luas konflik agraria: 6.309.261 hektare
KPA memperoleh data ini dari sejumlah sumber, yaitu:
- Korban yang melaporkan kejadian konflik agraria ke KPA, baik secara langsung atau melalui perantara;
- Laporan dari anggota dan jejaring KPA;
- Pemantauan lapangan;
- Pemantauan pemberitaan media massa;
- Database konflik dalam sistem respons cepat darurat agraria; dan
- Hasil investigasi lapangan.
Dengan sumber daya organisasi yang terbatas, data yang dihimpun KPA mungkin belum mewakili seluruh konflik agraria di Indonesia.
KPA juga hanya mencatat kasus "konflik agraria struktural", yakni konflik lahan yang disebabkan kebijakan pejabat publik, serta mengakibatkan terancamnya dan/atau tersingkirnya hak-hak konstitusional masyarakat atas sumber-sumber agraria.
Data ini tidak termasuk sengketa pertanahan biasa, seperti perebutan hak waris, sengketa lahan antar perusahaan, dan sebagainya.
(Baca: Jumlah Kasus Konflik Agraria Meningkat pada 2023)