Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menetapkan tingkat putus pakai kontrasepsi atau discontinuation contraceptive rate (DCR) 12 bulan sebesar 23,1% pada 2022.
Sebagai informasi, tingkat putus pakai adalah proporsi pengguna alat/cara KB yang tidak meneruskan penggunaan alat itu setelah suatu periode terpapar (exposure) karena suatu alasan tertentu, misalnya terjadinya kegagalan atau mengalami efek samping. Semakin tinggi angka, atau melebihi target, maka diindikasikan ada permasalahan dalam pemakaian kontrasepsinya.
Realisasinya, angka DCR secara nasional mencapai 21,6% pada 2022. BKKBN menyebut, capaian indikator tingkat putus pakai kontrasepsi pada tahun lalu sudah aman dari target yang ditetapkan.
Ditinjau berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan, tingkat putus pakai paling tinggi terjadi pada pil. Salah satu metode kontrasepsi jangka pendek tersebut diputus penggunaannya sebanyak 29%.
Kemudian impalan berada di urutan kedua, yaitu sebesar 25,8%. Diikuti oleh kondom dan IUD dengan proporsi masing-masing sebesar 25% dan 24,4%.
Sementara metode kontrasepsi lainnya seperti suntik tiga bulan, tradisional, dan metode amenore laktasi (MAL) mendapatkan persentase yang lebih rendah seperti yang terlampir pada grafik.
Data tersebut juga menunjukkan, tingkat putus pakai kontrasepsi paling banyak terjadi pada metode kontrasepsi jangka pendek.
"Besarnya angka drop out penggunaan kontrasepsi jangka pendek dapat diminimalisasi dengan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang," tulis BKKBN dalam laporannya.
BKKBN juga mencatat daftar provinsi dengan tingkat putus pakai kontrasepsi tertinggi di Indonesia.
Papua menempati urutan pertama dengan persentase 30,3%, diikuti oleh Kalimantan Selatan (26,1%) dan Sumatra Utara (25,5%).
(Baca juga: 55% Pasangan Usia Subur Berupaya Cegah Kehamilan pada 2022)