Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), Kabupaten Bekasi memiliki ketahanan pangan tertinggi dibanding belasan kabupaten lain di Provinsi Jawa Barat.
Mengacu pada UU No. 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Bapanas mengukur indeks ketahanan pangan di kabupaten-kabupaten Indonesia berdasarkan sembilan indikator utama, yakni:
- Normative Consumption Production Ratio (NCPR) atau rasio konsumsi normatif per kapita terhadap produksi bersih beras, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu, serta stok beras pemerintah daerah;
- Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan;
- Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan >65% terhadap total pengeluaran;
- Persentase rumah tangga tanpa akses listrik;
- Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih;
- Angka harapan hidup pada saat lahir;
- Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan penduduk;
- Rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun; dan
- Persentase balita dengan tinggi badan di bawah standar (stunting).
Berbagai indikator itu kemudian diolah menjadi skor berskala 0-100. Semakin tinggi skornya, ketahanan pangan suatu daerah diasumsikan semakin baik.
Dengan metode tersebut, Kabupaten Bekasi meraih skor 86,15 pada 2021, paling tinggi di antara 18 kabupaten Jawa Barat yang diriset Bapanas.
(Baca: 10 Kabupaten dengan Ketahanan Pangan Tertinggi, Juaranya Ada di Bali)
Kabupaten Bekasi meraih skor tinggi karena harga pangan di wilayahnya relatif lebih terjangkau dibanding sejumlah kabupaten tetangganya.
Di Kabupaten Bekasi, hanya ada 8,7% rumah tangga yang rasio pengeluaran pangannya >65% dari total pengeluaran. Sementara, di kabupaten Jawa Barat lain, proporsi rumah tangga dengan kriteria tersebut bisa mencapai belasan hingga puluhan persen.
Adapun Kabupaten Bogor memiliki indeks ketahanan pangan terendah di kelompok ini, dengan skor 68,61.
Skor itu belum optimal, terutama karena Kabupaten Bogor memiliki rasio NCPR sebesar 2,87. Angka itu mengindikasikan Kabupaten Bogor mengalami defisit tinggi dalam produksi serealia dan umbi-umbian (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan sagu) serta stok beras pemerintah daerah.
Sementara, sebagian besar kabupaten Jawa Barat yang diriset Bapanas memiliki rasio NCPR di kisaran 0,2 sampai 0,9 yang mengindikasikan kondisi surplus.
(Baca: Salatiga, Kota dengan Ketahanan Pangan Tertinggi di Jawa Tengah)