Jumlah transaksi mencurigakan di Indonesia cenderung meningkat dalam sedekade terakhir, bahkan mencapai rekor baru pada 2022.
Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), transaksi mencurigakan adalah:
- Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi seseorang;
- Transaksi yang diduga bertujuan menghindari pelaporan ke pihak berwenang;
- Transaksi dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
- Transaksi yang diminta oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk dilaporkan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Transaksi mencurigakan yang memenuhi kriteria di atas harus dilaporkan oleh lembaga penyedia jasa keuangan kepada PPATK.
Lembaga yang punya kewajiban melapor itu meliputi bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan/pialang asuransi, lembaga pengelola dana pensiun, perusahaan efek, manajer investasi, pedagang valuta asing, koperasi, pergadaian, pengelola e-money, dan sebagainya.
Lembaga penyedia barang/jasa yang menemukan transaksi mencurigakan juga wajib melapor ke PPATK, seperti perusahaan/agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang perhiasan, pedagang barang seni/barang antik, dan balai lelang.
Sepanjang 2022 PPATK menerima 90.742 laporan transaksi mencurigakan dari pihak-pihak tersebut. Adapun jumlah laporan ini menjadi rekor tertinggi dalam 10 tahun terakhir, seperti terlihat pada grafik.
Pada 2022 dugaan transaksi mencurigakan paling banyak dilaporkan oleh bank. Mayoritas laporan diduga terkait dengan penipuan, perjudian, penggelapan dana, pidana perpajakan, pidana perbankan, korupsi, narkotika, dan pidana pasar modal.
Adapun secara spasial, laporan transaksi mencurigakan pada 2022 paling banyak berasal dari DKI Jakarta dan Kepulauan Riau.
(Baca: Ini Daftar Bisnis yang Rawan Terlibat Pencucian Uang di Indonesia)
Kendati angkanya besar, data di atas mungkin belum merepresentasikan fakta secara lengkap. Pasalnya, bisa jadi ada transaksi mencurigakan lain yang tak tercatat PPATK karena tidak dilaporkan oleh lembaga-lembaga terkait.
"Di sini yang memegang peran penting adalah para penyedia jasa keuangan (PJK), termasuk bank, yang langsung berhadapan dengan transaksi nasabahnya sehari-hari. Jelas, kinerja ataupun laporan PPATK sangat bergantung pada kejujuran dan transparansi laporan para pengelola PJK," kata Susidarto, praktisi dan pengamat perbankan, dalam artikelnya yang bertajuk Transaksi (Rekening) Mencurigakan di situs Indonesia Corruption Watch (2010).
"Politisi dan birokrat, termasuk anggota Polri, termasuk dalam kategori nasabah risiko tinggi. Mereka yang tergolong high risk customer bisa dipastikan sudah mengetahui masalah ini. Oleh sebab itu, mereka hampir dipastikan tidak memiliki rekening penampungan untuk menerima aliran dana semacam ini. Kalau punya, berarti sama dengan bunuh diri," lanjutnya.
"Tidak jarang pula para pencuci uang ini lebih suka dengan transaksi tunai, seperti yang dipergoki beberapa kali oleh aparat KPK di lapangan. Setelah diterima, oleh para koruptor ini uang tidak disimpan di bank, namun dibelikan tanah, properti mewah, mobil mewah, perhiasan emas dan berlian, uang kertas asing, kemudian disimpan di safe deposit box di bank, atau investasi sektor keuangan serta sektor riil. Hal semacam inilah yang sulit dideteksi aliran dananya," kata Susidarto.
(Baca: Ada 90 Ribu Transaksi Mencurigakan pada 2022, Mayoritas di Jakarta)