Laos dan Myanmar menjadi dua dari sedikit negara yang mampu memproduksi opium, bahan dasar yang bisa digunakan untuk obat analgesik atau penghilang rasa sakit dan besifat sedatif, menenangkan.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menghitung distribusi lahan yang digunakan untuk penanaman opium di Laos dan Myanmar.
Bila dihitung dan dikomparasikan dengan status deforestasi sejak 2000, paling banyak ditanam di luar kawasan hutan. Distribusinya, sebanyak 91% dari total luas tanaman opium di Laos dan sebanyak 82% di Myanmar. Penanaman itu kemungkinan berasal dari lahan terbuka, pertanian, atau semak yang tidak berhutan lagi.
Ada juga penanaman di lahan yang ditebang hutannya dalam waktu tiga tahun terakhir. Ini mengindikasikan, penanaman tak berjarak lama dari deforestasi. Untuk klasifikasi ini, Laos sebesar 5% dan Myanmar sebesar 10%.
Sementara ada yang berasal dari ladang bekas hutan, tetapi sudah ditebang tiga tahun atau lebih. Jeda untuk penanamannya cukup lama. Dalam klasifikasi ini, Laos sebesar 4% dan Myanmar 8%.
UNODC menyebut, selain Myanmar dan Laos, ada Afghanistan yang merupakan pemain opium terbesar global. Setelah terjadi penurunan drastis produksi opium di Afghanistan pada 2023 sebesar 95% dibanding 2022 dan peningkatan di Myanmar sebesar 36%, produksi opium global turun sebesar 74% pada 2023.
Melansir Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Cianjur, opium poppy diekstrak dari Papaver Somniferum, bunga yang bijinya menghasilkan getah mentah yang bisa diolah menjadi bahan dasar narkotika seperti morfin, kodein, dan heroin.
Opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis dengan tinggi sekitar satu meter. Pada satu tangkai, hanya terdiri dari satu bunga dengan warna mahkota merah, putih, ungu, atau merah muda.
Hampir semua bagian opium masuk ke dalam narkotika, dari buah hingga jeraminya, kecuai bijinya.
(Baca juga: Indonesia Salah Satu Lokasi Penangkapan Sabu Terbesar Global)