Perang antara Israel dan kelompok militan Hamas Palestina yang berkecamuk sejak 7 Oktober 2023 tak kunjung mereda.
Sampai hari ke-34 perang, yakni 9 November 2023, warga Palestina yang tewas di tengah konflik ini sudah melampaui 10.900 orang, sekitar 9 kali lipat lebih banyak dari korban jiwa Israel.
(Baca: 34 Hari Perang, 10.900 Warga Palestina Tewas)
Selain menimbulkan korban jiwa, serangan bertubi-tubi dari Israel juga telah memaksa jutaan warga Palestina untuk mengungsi, khususnya di Jalur Gaza yang menjadi medan perang utama.
Mereka mengungsi entah karena rumahnya hancur dibom Israel, atau karena ketakutan dan tak memiliki pasokan kebutuhan pokok.
Menurut data yang dihimpun United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), sampai 8 November 2023 jumlah warga Jalur Gaza yang berstatus internally displaced people (IDP) atau pengungsi di negerinya sendiri mencapai 1,58 juta orang.
Angka pengungsi internal itu mencapai 70% dari total penduduknya. Pada pertengahan 2023 sebelum perang meletus, jumlah total penduduk Jalur Gaza adalah 2,23 juta orang berdasarkan data Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS).
(Baca: 10 Negara dengan Diaspora Palestina Terbanyak, AS Masuk Daftar)
Adapun pengungsi internal Jalur Gaza saat ini tersebar di berbagai lokasi.
Mayoritasnya atau 742 ribu orang (47%) berlindung di pos-pos pengungsian yang dikelola United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA).
Kemudian 570 ribu orang (36%) pengungsi tersebar di rumah kerabat mereka, 142 ribu orang (9%) di pos pengungsian yang dikelola pemerintah setempat, dan 122 ribu orang (8%) berlindung di fasilitas umum seperti rumah sakit, klinik, dan gereja.
Kondisi para pengungsi juga dilaporkan semakin buruk seiring dengan terbatasnya pasokan makanan, obat-obatan, air bersih, dan fasilitas sanitasi.
"Kepadatan pengungsi masih menjadi kekhawatiran utama. Rata-rata, 160 orang yang berlindung di pos UNRWA berbagi satu unit toilet, dan hanya ada satu tempat mandi untuk setiap 700 orang. Kondisi sanitasi yang memburuk, serta kurangnya privasi dan ruang, menimbulkan bahaya kesehatan dan keselamatan," kata OCHA dalam laporannya, Kamis (9/11/2023).
"Pada tanggal 8 November, WHO memperingatkan adanya risiko penyebaran penyakit menular dan infeksi bakteri secara meluas, akibat kekurangan air dan konsumsi air kotor. Sejak pertengahan Oktober, lebih dari 33.500 kasus diare telah dilaporkan, sebagian besar terjadi pada anak balita. Sebelumnya, rata-rata kasus diare pada tahun 2021 dan 2022 adalah 2.000 kasus per bulan," lanjutnya.
(Baca: Palestina Butuh Bantuan Rp19 Triliun, Mayoritas untuk Makan)