Selama periode 7-25 Oktober 2023, perang Israel-Palestina telah menimbulkan sekitar 8.000 korban jiwa dan 24.700 korban luka dari kedua belah pihak.
Data ini dihimpun United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) dari Kementerian Kesehatan Gaza dan keterangan resmi pemerintah Israel.
(Baca: 13 Negara Beri Bantuan untuk Palestina, Totalnya Rp5 Triliun)
Sampai hari ke-19 perang, yakni Rabu (25/10/2023), jumlah total korban jiwa Palestina sudah sekitar empat kali lipat lebih banyak dari korban jiwa Israel.
"Dalam 24 jam terakhir skala pemboman dan serangan udara Israel paling intens sejak eskalasi dimulai, dengan jumlah korban jiwa tertinggi di Gaza sejak awal perang," kata OCHA dalam laporannya, Rabu (25/10/2023).
OCHA mencatat, mayoritas korban Palestina berada di Jalur Gaza dengan jumlah korban jiwa sekitar 6.547 orang dan korban luka 17.439 orang. Sementara di wilayah Tepi Barat korban jiwanya 102 orang dan korban luka 1.889 orang.
Kemudian korban jiwa Israel berjumlah sekitar 1.402 orang dan korban luka 5.445 orang, tidak ada laporan penambahan korban baru dari Israel sejak Senin (23/10/2023).
Selain angka-angka di atas, OCHA menyebut ada sekitar 1.600 warga Palestina di Gaza yang dilaporkan hilang, sekitar 900 orang di antaranya adalah anak-anak. Mereka yang hilang ini diperkirakan terjebak di timbunan reruntuhan bangunan.
OCHA juga melaporkan jumlah pengungsi di Gaza sudah melampaui 1,4 juta orang. Sekitar 629 ribu orang di antaranya tinggal di pos-pos penampungan darurat UNRWA, badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melayani pengungsi Palestina, sedangkan sisanya tersebar di berbagai tempat.
"Kepadatan pengungsi yang berlebihan di pos penampungan darurat UNRWA di Gaza bagian tengah dan selatan sangat menghambat akses terhadap layanan dasar, meningkatkan risiko kesehatan dan keselamatan, serta berdampak negatif bagi kesehatan mental," kata OCHA, Rabu (25/10/2023).
Kebuntuan Perdebatan Dewan Keamanan PBB
Di tengah krisis kemanusiaan tersebut, 15 negara yang tergabung di Dewan Keamanan (DK) PBB masih berdebat tentang resolusi apa yang terbaik untuk konflik Israel-Palestina.
Rusia selaku salah satu anggota DK PBB telah mengajukan draf resolusi yang mendorong gencatan senjata. Draf ini disetujui oleh 5 anggota DK PBB (Rusia, Tiongkok, Uni Emirat Arab, Gabon, Mozambik).
Namun, ada 4 negara anggota DK PBB yang menolak (Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Prancis) dan 6 negara abstain (Albania, Brasil, Ekuador, Ghana, Malta, dan Swiss).
Dengan begitu draf Rusia pun kandas, karena resolusi DK PBB harus disetujui oleh minimal 9 dari 15 negara anggotanya, serta tidak ditolak dengan hak veto oleh 5 anggota tetap DK PBB (Tiongkok, Rusia, Amerika Serikat, Prancis, Inggris).
Menurut perwakilan Amerika Serikat (AS), mereka menolak draf resolusi gencatan senjata dari Rusia karena drafnya tidak menyatakan kelompok militan Hamas Palestina sebagai "teroris".
"Kami tidak bisa membiarkan Dewan ini secara tidak adil menyalahkan Israel dan memaafkan Hamas atas kekejamannya selama beberapa dekade,” kata perwakilan AS di DK PBB, dilansir situs UN News, Senin (16/10/2023).
AS juga telah mengajukan draf resolusi yang pada intinya mendorong penanganan krisis kemanusiaan di Gaza.
Namun, draf usulan AS hanya menuntut adanya "jeda kemanusiaan" atau jeda perang, tanpa mengharuskan adanya gencatan senjata secara penuh. AS juga menyatakan bahwa Israel berhak "membela diri".
Draf resolusi AS itu kemudian gagal karena ditolak dengan hak veto oleh 2 anggota tetap DK PBB, Tiongkok dan Rusia.
"Tiongkok dan Rusia memveto draf resolusi yang disponsori AS, sementara draf resolusi yang didorong Rusia gagal mendapat dukungan cukup, sehingga memperdalam kebuntuan di DK PBB dalam memberi tanggapan terpadu untuk mengatasi krisis di Gaza dan Israel," kata tim publikasi PBB, dilansir situs UN News, Rabu (25/10/2023).
(Baca: Daftar Negara Investor Terbesar di Israel, Ada AS dan Tiongkok)