Bisnis manufaktur Indonesia masih lesu pada Juli 2025, dipengaruhi turunnya permintaan dan kekhawatiran akan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS).
Kondisi ini terlihat dari laporan Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis S&P Global Market Intelligence.
(Baca: Permintaan Domestik Turun, Industri Manufaktur RI Melemah Juni 2025)
S&P Global Market Intelligence menyusun indeks PMI berdasarkan survei terhadap manajer dari ratusan sampel perusahaan manufaktur.
Indikator surveinya meliputi pertumbuhan volume produksi, pesanan ekspor dan domestik, jumlah tenaga kerja, jangka waktu pengiriman pasokan, serta stok bahan yang dibeli setiap perusahaan.
Hasilnya kemudian diolah menjadi skor berskala 0-100. Skor PMI di bawah 50 mencerminkan pelemahan atau kontraksi; skor 50 artinya stabil atau tak ada perubahan; dan skor di atas 50 menunjukkan penguatan atau ekspansi dibanding bulan sebelumnya.
Pada Juli 2025 Indonesia memiliki skor PMI manufaktur 49,2, sedikit membaik dibanding Juni 2025, tapi secara umum masih di zona kontraksi.
Adapun skor PMI manufaktur Indonesia sudah berada di zona kontraksi empat bulan berturut-turut sejak April 2025, seperti terlihat pada grafik.
"Data survei bulan Juli kembali menunjukkan indikator negatif pada kesehatan perekonomian sektor manufaktur Indonesia, penurunan output dan permintaan baru berlanjut pada awal kuartal ketiga," kata S&P Global dalam siaran pers, Jumat (1/7/2025).
"Pada saat yang sama, permintaan ekspor baru kembali menurun, sementara perusahaan sedang dalam mode berhemat yang ditandai dengan penurunan karyawan dan pembelian," lanjutnya.
Menurut S&P Global, kepercayaan diri pelaku bisnis manufaktur Indonesia secara umum juga turun pada Juli 2025.
"Perusahaan menyatakan kekhawatiran tentang tarif AS dan penurunan daya beli yang mungkin membatasi volume pada tahun mendatang," kata mereka.
(Baca: Tren PHK di Indonesia Meningkat pada Semester I 2025)