Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 212 konflik agraria yang terjadi di Indonesia sepanjang 2022.
Jumlah konflik itu bertambah 2,36% dibanding tahun lalu (year-on-year/yoy) yang totalnya 207 kasus.
Seluruh konflik agraria di Indonesia pada 2022 melibatkan lahan seluas 1,03 juta hektare (ha), serta berdampak pada 346.402 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 459 desa/kota.
Konflik agraria pada 2022 paling banyak terjadi di sektor perkebunan, yakni 99 kasus, dengan luas wilayah konfllik 377,19 ribu ha dan korban terdampak 141.001 KK.
Dari jumlah tersebut, 80 kasus di antaranya terjadi di perkebunan sawit.
"Tingginya letusan konflik agraria di sektor perkebunan dan bisnis sawit merupakan persoalan klasik yang tidak kunjung terpecahkan oleh pemerintah. Hambatan utamanya dikarenakan bisnis persawitan masih menjadi 'anak emas' pemerintahan dalam menggenjot perekonomian nasional," tulis KPA dalam laporannya.
Konflik agraria juga banyak terjadi di sektor pembangunan infrastruktur, yaitu 32 kasus. Luas lahan konfliknya mencapai 102,75 ribu ha yang berdampak pada 28.795 KK.
Konflik di sektor infrastruktur berasal dari proyek pembangunan pariwisata, bendungan, jalan tol, pembangkit listrik, hingga fasilitas umum.
Berikutnya ada 26 kasus konflik agraria di sektor properti, dengan luas konflik 4,57 ribu ha dan 15.957 KK yang terdampak.
"Konflik di sektor ini (properti) didominasi oleh klaim aset pemerintah di tanah dan permukiman masyarakat, di mana letusan konfliknya mencapai 13 kali. Selanjutnya konflik masyarakat dengan para perusahaan pengembang perumahan sebanyak 8 kali letusan konflik," papar KPA dalam laporannya.
Ada pula kasus agraria yang terjadi di sektor pertambangan (21 kasus), kehutanan (20 kasus), fasilitas militer (6 kasus), pertanian (4 kasus), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4 kasus).
Jika dilihat berdasarkan wilayah, konflik agraria paling banyak terjadi di Jawa Barat (22 kasus), Sumatra Utara (22 kasus), Jawa Timur (13 kasus), dan Kalimantan Barat (13 kasus).
(Baca juga: Konflik Relokasi Warga Rempang, Bagaimana Pandangan Masyarakat Lainnya?)