Transparency International Indonesia (TII) menyusun skor transparansi 50 perusahaan sawit di Indonesia. Secara keseluruhan, skor yang dihimpun hanya mencapai 3,50 poin dari skala 1-10.
TII menyebut perolehan ini mengindikasikan bahwa rerata skor yang berada di bawah nilai median tidak cukup baik dalam mengungkapkan transparansi kegiatan politik perusahaan.
Transparansi pelaporan dan keterlibatan politik perusahaan dalam tata kelola komoditas sawit, dinilai TII memiliki urgensi untuk membenahi tata kelola sektor ini yang sarat akan faktor politik dan ketidakadilan yang berdampak kepada masyarakatnya.
"Oleh karena itu, dalam mewujudkan upaya tata kelola komoditas sawit yang lebih adil dan berkelanjutan, hubungan antara korporasi dan pemerintah juga perlu diatur dan diawasi untuk mencegah korupsi politik dan konflik kepentingan," tulis TII dalam laporannya.
Berdasarkan temuan TII, hanya 26 perusahaan atau sekira 52% dari 50 perusahaan sawit yang memiliki komitmen antikorupsi perusahaan. Komitmen yang dimaksud berlaku bagi seluruh level pegawai perusahaan.
Menyambung hal itu, hanya ada 4 perusahaan atau 8% yang memiliki program antikorupsi yang berlaku bagi seluruh staf perusahaan, termasuk level direksi dan komisioner perusahaan.
(Baca juga: 10 Perusahaan Sawit Terbesar di Indonesia Tahun 2020, SMART di Posisi Puncak)
Selanjutnya, TII menjelaskan hanya ada 7 dari 50 perusahaan atau 14% yang mengantongi sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk tingkat global dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk tingkat nasional.
Dua sertifikat itu menjadi standar dan sertifikasi wajib perusahaan sawit untuk beroperasi di Indonesia.
TII juga menyebut hanya 5 perusahaan atau 10% yang mau mengungkapkan data pajak secara rinci di negara tempat perusahaan beroperasi. TII menyayangkan rendahnya persentase ini.
"Padahal, seharusnya pengungkapan data pajak diperlukan untuk menghindari aliran keuangan gelap dan tindak pidana pencucian yang yang bisa saja dilakukan oleh perusahaan," tulis TII.
Fenomena praktik keluar-masuk pintu atau revolving door dalam sektor publik dan swasta disebut TII telah menjadi perhatian global untuk mencegah konflik kepentingan dan terbukanya celah korupsi.
Namun, hanya 1 dari 50 perusahaan atau 2% yang memiliki aturan keluar-masuk pintu atau revolving door.
TII juga menyampaikan, terdapat 34 perusahaan atau 68% yang melaporkan pemilik manfaat (beneficial owner) korporasi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM).
Namun, dari 34 perusahaan itu, hanya 5 perusahaan yang telah melaporkan pemilik dengan mendeklarasikan entitas hukum (legal person) sebagai pemilik manfaat perusahaan, tidak melaporkan nama individu.
Dalam melakukan penilaian dan analisis data, ada enam dimensi penilaian yang mencakup 29 pertanyaan indikator untuk menjadi acuan penilaian dalam laporan ini, yaitu:
- Program antikorupsi (anti-corruption program)
- Pencegahan korupsi dan aspek inklusivitas (corruption prevention and inclusivity)
- Kegiatan lobi yang bertanggung jawab (responsible lobbying)
- Praktik “keluar-masuk pintu” (revolving door)
- Keberlanjutan dan Standar sertifikasi perusahaan (sustainability and certification standards)
- Pengungkapan data (data disclosure)
TII menjelaskan, masing-masing dimensi penilaian memiliki indikator pertanyaan yang berbobot 2, 1, dan 0 poin.
"Pemberian skor 2, 1, dan 0 untuk perusahaan juga berdasarkan justifikasi atas bukti-bukti yang dapat diberikan oleh perusahaan melalui dokumen yang tersedia bagi publik," tulis TII.
Pengumpulan dan analisis data perusahaan dilakukan sepanjang bulan Agustus 2022 hingga November 2022.
(Baca juga: Meski Ekspor Turun, Konsumsi Minyak Sawit Dalam Negeri Naik pada 2022)