Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada April 2016. Perjanjian ini salah satunya berisi komitmen untuk menahan kenaikan suhu global maksimal 1,5 derajat Celcius di atas masa pra-industrialisasi.
Demi mewujudkan komitmen tersebut Indonesia perlu melakukan transisi energi, yakni mengurangi penggunaan energi fosil dan meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
Namun, proses transisi energi itu membutuhkan pengembangan infrastruktur dan investasi dalam jumlah besar.
Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), untuk mendorong percepatan transisi energi dan mewujudkan komitmen 1,5 derajat Celcius dalam Perjanjian Paris, Indonesia butuh investasi jangka pendek US$314,5 miliar atau sekitar Rp4,7 kuadriliun (kurs Rp15.000/US$) selama periode 2018-2030.
Investasi tersebut diperlukan untuk mendorong penjualan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di pasar domestik, meningkatkan kapasitas pembangkit EBT, serta membangun berbagai infrastruktur pendukungnya dengan rincian seperti terlihat pada grafik.
"Hambatan signifikan dalam mendorong transisi energi Indonesia adalah pendanaan dan investasi. Sumber pembiayaan perlu diperluas dan kapasitas pembiayaan lokal perlu ditingkatkan," kata IRENA dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook yang dirilis Oktober 2022.
"Dalam banyak kasus, bank-bank di Indonesia belum menerapkan pembiayaan untuk energi terbarukan. Pengembang yang butuh pembiayaan proyek energi terbarukan perlu mendekati investor atau lembaga keuangan internasional," lanjutnya.
(Baca: Potensi Energi Terbarukan Indonesia Baru Tergarap 0,3% sampai 2021)