Inklusi keuangan adalah kondisi di mana anggota masyarakat memiliki akses terhadap berbagai layanan keuangan formal.
Menurut laporan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks inklusi keuangan nasional pada tahun 2019 mencapai 76,19%. Artinya, dari setiap 100 orang penduduk Indonesia, ada sekitar 76 orang yang memiliki akses terhadap layanan keuangan.
Jika dirinci per wilayah, provinsi yang memiliki indeks inklusi keuangan tertinggi pada 2019 adalah DKI Jakarta, yakni mencapai 92,67% untuk layanan keuangan konvensional.
Sedangkan inklusi keuangan konvensional terendah ada di Papua Barat yang persentasenya hanya 59,84%.
"Dalam memilih produk dan jasa keuangan, masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai provinsi memiliki preferensi yang berbeda. Namun, sebagian besar masyarakat cenderung memilih perbankan yang disusul dengan layanan jasa keuangan formal lain," ujar OJK dalam laporannya.
Menurut temuan OJK, produk jasa keuangan formal yang paling banyak diketahui masyarakat adalah layanan tabungan, transfer uang, BPJS Kesehatan, deposito, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Sedangkan jasa keuangan yang paling sedikit diketahui masyarakat adalah sewa/ijarah di bank, giro wadiah, pembiayaan bank wakaf mikro (BWM), fintech dan crowdfunding, serta pembiayaan ultra-mikro (UMi).
"Saat ini masih terdapat gap yang cukup tinggi antara indeks literasi keuangan 38,03% dan inklusi keuangan 76,19%. Artinya, dari setiap 100 orang terdapat sekitar 76 orang yang inklusif, namun hanya sekitar 38 orang yang well literate," ungkap OJK.
Merespons kondisi ini, OJK pun menyatakan sudah merancang program untuk meningkatkan pengetahuan keuangan masyarakat Indonesia sampai tahun 2025.
"Hal ini diharapkan dapat meningkatkan literasi keuangan masyarakat baik secara konvensional maupun syariah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui inklusi keuangan yang ditargetkan sebesar 90% sesuai arahan Presiden Joko Widodo," pungkas OJK.
(Baca: Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Masih Rendah)