Emisi gas rumah kaca di Ibu Kota mengalami tren peningkatan selama periode 2010-2018. Hal ini tercatat dalam Laporan Inventarisasi Profil Emisi Gas Rumah Kaca DKI Jakarta yang dirilis Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi pada 2019.
Laporan tersebut mencatat secara rinci emisi gas rumah kaca DKI Jakarta yang berasal dari emisi langsung (direct emission) maupun emisi tidak langsung (indirect emission).
Emisi langsung (direct emission) meliputi emisi dari sektor energi; emisi Industrial Process And Product Uses (IPPU) atau sektor industri dan penggunaan produk; emisi Agriculture, Foresty, and Other Land Use (AFOLU) atau sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya; serta emisi dari sektor limbah.
Sedangkan emisi tidak langsung (indirect emission) berasal dari penggunaan listrik PLN jaringan Jawa-Madura-Bali (Jamali).
Pada tahun 2010 DKI Jakarta menghasilkan emisi gas rumah kaca dengan berat total 38 juta ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e), dengan rincian:
- Sektor Energi: 18,9 juta ton CO2e
- Sektor IPPU: tidak tercatat
- Sektor AFOLU: 31 ribu ton CO2e
- Sektor Limbah: 1,8 juta ton CO2e
- Indirect emission (penggunaan listrik): 17,4 juta ton CO2e
Kemudian pada tahun 2018 emisi gas rumah kaca DKI Jakarta sudah meningkat sekitar 51% dibanding 2010, sehingga berat emisi totalnya menjadi 57,6 juta ton CO2e dengan rincian:
- Sektor Energi: 27,2 juta ton CO2e
- Sektor IPPU: tidak tercatat
- Sektor AFOLU: 3 ribu ton CO2e
- Sektor Limbah: 2,2 juta ton CO2e
- Indirect emission (penggunaan listrik): 29,2 juta ton CO2e
Dari data tersebut, terlihat bahwa emisi gas rumah kaca DKI Jakarta paling banyak berasal dari sektor penggunaan listrik (indirect emission) dan sektor energi (direct emission).
"Emisi GRK (gas rumah kaca) yang bersumber dari penggunaan listrik jaringan merupakan kontributor utama besarnya emisi GRK di DKI Jakarta. Hal ini sesuai dengan DKI Jakarta yang banyak merupakan bangunan dengan porsi konsumsi listrik lebih besar dibandingkan dengan konsumsi bahan bakar lainnya (bahan bakar nabati, gas, LPG)," ujar DLH Provinsi DKI Jakarta dalam laporannya.
"Emisi GRK direct (kecuali industri energi) merupakan kontributor terbesar kedua. Emisi GRK direct banyak bersumber dari kegiatan sektor transportasi yang banyak menggunakan bahan bakar minyak serta konsumsi produk minyak, LPG, dan gas di sektor industri manufaktur, residensial dan bangunan komersial," papar DLH.
"Sumber emisi terbesar ketiga berasal dari sektor industri energi yang merupakan sistem pembangkit listrik yang terletak di wilayah DKI Jakarta," lanjutnya.
(Baca: Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia, dari Era SBY sampai Jokowi)