Sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai periode pertama Presiden Jokowi, emisi gas rumah kaca Indonesia cenderung mengalami peningkatan.
Datanya tercatat dalam Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021.
Menurut laporan tersebut, di tahun awal pelantikan SBY, Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sebanyak 849,96 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada 2004.
Kemudian di awal periode kedua SBY jumlahnya meningkat jadi 1,19 miliar ton CO2e pada 2009.
Di tahun-tahun berikutnya tren emisi gas rumah kaca nasional cenderung terus naik hingga memuncak pada awal pemerintahan Jokowi, yakni 2,37 miliar ton CO2e pada 2015.
Setelah itu emisi sempat menurun, seiring dengan langkah Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris pada 2016.
Namun, emisi gas rumah kaca Indonesia ternyata kembali menunjukkan tren naik hingga mencapai 1,86 milar ton CO2e pada 2019.
Melihat kondisi ini, Indonesia tampaknya masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC), yakni komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan melalui Perjanjian Paris.
Mengacu pada NDC tersebut, Indonesia ditargetkan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% di bawah skenario business as usual pada 2030 dengan usaha sendiri, atau mengurangi emisi sampai 41% apabila mendapat dukungan internasional.
(Baca: Emisi Gas Rumah Kaca RI Paling Banyak dari Sektor Kehutanan dan Kebakaran Gambut)